Dirut Sritex Akan Diperiksa Kejagung Soal Kredit ke Anak Perusahaan
Dirut Sritex Iwan Kurniawan Lukminto (rep)
Jakarta, Pro Legal-Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menjadwalkan pemeriksaan Dirut PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto atas kasus korupsi pemberian fasilitas kredit dari perbankan kepada PT Sritex pada Rabu (18/6).
Pemeriksaan ini menjadi pemeriksaan ketiga terhadap Iwan Kurniawan setelah diperiksa pada Selasa (10/6) lalu dan dicecar 20 pertanyaan oleh penyidik selama 10 jam.
Menurut Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, pemeriksaan dilakukan lantaran penyidik masih membutuhkan keterangan tambahan dari Iwan Kurniawan, salah satunya terkait anak usaha PT Sritex. "Ya banyak hal yang akan digali oleh penyidik karena terkait proses pengajuan dan pencairan kredit dari beberapa bank kepada PT Sritex dan juga yang bersangkutan itu kalau enggak salah menjadi direktur di tiga anak perusahaan," ujar Harli, Senin (16/6).
"Jadi ya PT Sritex ini punya unit-unit usaha, punya perusahaan-perusahaan, jadi yang bersangkutan menjadi direktur sehingga sangat penting, sangat urgent bagi penyidik untuk melihat benang merah terkait soal penyaluran kredit," ujarnya.
Harli ungkapkan jika dalam pemeriksaan itu, penyidik juga akan menggali soal penyaluran kredit ke tiga anak usaha PT Sritex.
Sebab, ada dugaan kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, justru digunakan untuk pembelian modal-modal tidak produktif. "Nah di tiga anak perusahaan itu seperti apa, ini akan terus digali oleh penyidik, selain apakah yang bersangkutan memiliki kewenangan atau keharusan untuk dalam proses pengajuan kreditnya, menandatangani persetujuan," ujar Harli.
Seperti diketahui, Kejagung sebelumnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit dari perbankan kepada PT Sritex.
Ketiga tersangka itu Eks Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto; Direktur Utama Bank DKI periode 2020, Zainuddin Mappa; dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB periode 2020, Dicky Syahbandinata.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menyebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 692 miliar.
Qohar menyebut nilai kerugian itu sesuai besaran kredit dari Bank DKI dan Bank BJB yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja. Ia menjelaskan uang kredit yang seharusnya dipakai untuk modal kerja itu justru digunakan untuk membayar utang dan membeli aset non produktif. "Tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, yaitu untuk modal kerja tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif," ujarnya.(Tim)