logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika Cinta Harus Memilih
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, karena dibekali dengan hati yang bisa melahirkan rasa serta otak yang bisa menghasilkan pikiran. Dengan hati dan pikiran itulah munculah olah rasa dengan dibarengi nalar yang melahirkan perasaan cinta, sebagai salah satu kodrat yang dimiliki manusia. Menurut Imam Al Ghazali, cinta adalah salah satu sifat khas makhluk yang memiliki perasaan.

Sehingga cinta adalah merupakan fenomena yang alamiah yang pasti akan dialami oleh setiap individu. Dalam bukunya, Seni Mencintai, Erich Fromm (1983), telah mendefinisikan jika cinta adalah sebagai sikap, yang merupakan orientasi watak yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia secara keseluruhan bukan menuju satu obyek cinta.

Sehingga Erich membuat tiga kategori cinta yakni, cinta yang bersifat manusiawi, cinta bersifat rohaniah dan cinta yang berperilaku memberi sementara nafsu cenderung hanya menuntut.

Energy cinta itu bisa direspon dan diekspresikan oleh setiap individu dengan cara berbeda-beda, bisa dengan cara yang sentimentil ala William Shakespeare misalnya dengan melalui pemberian bunga (say love with flowers) atau dengan cara-cara yang posesif dan irasional, karena seperti yang diungkapkan oleh Khalil Gibran, masih banyak orang yang berbuat jahat atas nama cinta. Maka disinilah pentingnya cara dan pengetahuan setiap invidu untuk mengekpresikan rasa cinta.

Dengan berbagai tesis seperti itu melahirkan konklusi jika konsep cinta (mahabbah) itu bisa dikategori dan dikualifikasikan menjadi tiga cinta yakni cinta rahoniah antara pribadi dengan sang Khalik serta cinta yang manusiawi antara sesama manusia dan cinta dengan alam semesta dan isinya. Tinggal bagaimana cara setiap individu mengatur proporsi cintanya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak melulu mencintai Tuhan (zuhud) tapi mengabaikan cinta antara sesama. Apalagi sampai dengan cara berbuat anarkhi hanya untuk mewujudkan rasa cintanya terhadap Tuhan seperti melakukan tindakan bom bunuh diri sebagai kategori seperti yang diungkapkan oleh Khalil Gibran, berbuat jahat atas nama cinta.

Padahal Tuhan itu maha bijaksana dan DIA tidak selalu menuntut harus diutamakan, dengan melakukan ibadah khusus atau ibadah madhah seperti (sholat, puasa, zakat dan zikir). Tetapi bisa juga dengan melakukan ibadah umum (ghairu madhah) sebagai bagian dari cara memuwujudkan cinta rohaniah. Dan Allah tidak melaranganya namun justru menganjurkannya. Misalnya dalam Kitab Bulughul Maram karya Hajar Al Asqolani dengan mengutip hadist yang dirawi oleh HR Tarmidzi, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Mencintai tanah air (hubbul wathan minnal iman) juga merupakan bagian dari iman yang harus dimiliki oleh setiap individu. Bahkan sejumlah ulama di Surabaya yang tergabung dalam Jami’atul Kheir pada tahun 1901 telah berusaha  mendekontruksi dan mentranformasi kecintaan umat terhadap Tuhan dengan mengeluarkan fatwa bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Dan hasilnya sangat dahsyat, banyak para pahlawan pejuang bangsa seperti para pasukan yang ikut dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang berhasil mengusir pasukan sekutu, perang Ambarawa, serta para pejuang yang terlibat dalam pertempuran di Bandung Selatan itu berbekal keyakinan jika perang dalam membela dan mewujudkan cinta tanah air itu bagian dari jihad fisabillah.

Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang secara eksplisit menganjurkan kita untuk mencintai tanah air sebagai ejawantah dari iman yang merupakan bentuk rasa cinta kita terhadap Tuhan. Seperti mislnya dalam QS Al Qashas 85 yang menyatakan, “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali,”. Bahkan sahabat Umar RA pernah berkata, “Jika bukan karena cinta tanah air niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah airlah dibangunlah negeri-negeri,”.

Maka munculnya fenomena radikalisme yang mengklaim berbasis agama itu semata-mata muncul karena adanya sikap posesif (mencintai secara berlebihan) terhadap Tuhan tanpa tahu cara mewujudkan cinta yang baik dan benar. Mereka adalah kelompok-kelompok yang menjadi korban propaganda untuk mengadu domba antara umat beragama dan antara masyarakat dan negara. Sehingga tercipta kondisi saling mencurigai antara sesama dan mengabaikan ukhuwah wathoniah (persaudaraan antara semua elemen bangsa). Karena sesungguhnya cara mewujudkan cinta rohaniah/ilahiah itu bisa dilakukan dengan berbagai hal seperti membaca, memahami dan mengamalkan ajaran agama secara kaffah (menyeluruh).***
Opini Ketika Cinta Harus Memilih
Iklan Utama 5