logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Warisan Habibie Yang Nyaris Hilang

Warisan Habibie Yang Nyaris Hilang
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Innalillahi wainnalillahi rojiun, selamat jalan Cak Rudy semoga kepulanganmu ke haribaaNYA  bias diterima  secara  khusnul khotimah. Sebagai salah satu orang yang pernah mengirim karya tulis melalui fax ke kamar pribadi, sehingga seseorang yang menjadi subyek tulisan itu diangkat menjadi Menteri, penulis juga merasakan kehilangan yang sangat dalam. Kehilangan tokoh yang jenius namun rendah hati, maski kala itu banyak dicaci maki. Habibie tetaplah sosok yang menjadi sumber inspirasi.

Meski naiknya Habibie sebagai Presiden RI yang ketiga adalah produk kecelakaan sejarah, sehingga dituduh sebagai Boneka Cendana, namun (Alm) Cak Rudy tetaplah sebagai sosok yang sangat progresif dan revolusioner yang menjadi pemecah kejumudan system totaliter dan membawa ke arah demokrasi yang menjadi lebih baik sehingga bangsa ini tidak terjerumus kesumpekan sistem yang berkepanjangan. Sistem tertutup dan fasis yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Harus diakui Cak Rudy telah membuka rongga berbangsa dan bernegara, sehingga semua bisa bernafas dengan lega.

Sebagai sosok yang dibesarkan dalam kultur demokrasi barat  tanpa kehilangan identitas budaya leluhurnya, Habibie bisa memberikan warna baru tentang budaya berbangsa dan bernegara yang ideal. Begitu diangkat sebagai penerus Soeharto, Habibie melakukan langkah-langkah yang radikal dan revolusiomer, untuk menciptakan  tatanan baru tentang hubungan antara rakyat dengan Negara. Meski Habibie belum tentu ‘kenal’ dengan Shan Yang, Machiavelli,  Aristoteles, karena latar belakang sebagai pakar teknologi  

Untuk menghapus upaya eksploitasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, Habibie membuat formula baru dengan memberlakukan otonomi daerah dengan memberlakukan UU No 22 Tahun 2009 tentang pemerintah daerah. Untuk menghindari intervensi pemerintah, Habibie memberlakukan independensi Bank Sentral.Pemisahan antara Polri dan TNI telah mendorong Lembaga Bhayangkara itu semakin mandiri dan professional.

Dalam bidang ekonomi, Habibie juga mencatat prestasi yang cukup gemilang, Rupiah yang pada akhir pemerintahan Soeharto yang sempat terdepresiasi hingga Rp 16.000 perdolar secara perlahan namun pasti bisa dijinakkan oleh Habibie, hingga mampu bertengger pada angka Rp 6700 perdolar. Bahkan saat itu rupiah menorehkan prestasi sebagai mata uang yang mengalami apresiasi tertinggi di dunia.

Dalam bidang pendidikan, Habibie juga melakukan upaya deregulasi  dan debirokratisasi perizinan sehingga proses perizinan pendidiran sekolah dan kampus menjadi lebih mudah. Salah satunya adalah berdirinya Universitas Bung Karno. Kebijakan itu sebagai salah satu kebijakan fundamental Habibie untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (human resource) yang unggul.

Namun kebijakan Habibie yang paling revolusioner sebagai upaya untuk meletakan pondasi demokratisasi adalah kebebasan pers sebagai salah satu qonditio sin qua non (prasyarat utama) dengan memberikan kebebasan berbicara dan berpendapat melalui kebebasan pers. Pembuatan perusahaan pers tidak perlu SIIUP. Tak mengherankan bila perusahaan pers tumbuh bak jamur di musim hujan. Tak ada pembredelan, meski tidak sedikit media saat itu yang justru mencaci maki Habibie.

Kebebasan itu kini secara perlahan luruh dan nyaris hilang. Kini perusahaan pers wajib berbadan hukum, dengan berbagai persyaratan khusus seperti adanya setifikasi dan uji kompetensi bagi para jurnalis. Itupun belum tentu cukup, kue anggaran sosialisasi program pemerintah dipotong besar-besaran hingga nyaris habis. Itupun hanya tersisa alokasi anggaran untuk media-media mainstream. Tak mengherankan bila di hari kematian Habibie imi nyaris bersamaan juga merupakan hari-hari kematian media, terutama untuk media-media kecil.

Bila pada era Habibie dan beberapa penerusnya, jumlah perusaan pers bisa mencapai puluhan ribu, kini jumlahnya yang telah terverifikasi hanya tersisa ratusan. Dan prediksi akan terus menyusut seiring dengan semakin minimnya anggaran sosialisasi pemerintah. Apalagi pengaduan terhadap perusaan pers kini semakin gencar. Bukan tidak mungkin dalam hitungan hari jumlah media itu akan semakin habis. Bila pemerintah membiarkan  dan tidak memberikan proteksi atau subsidi terhadap pemerintah. Mungkin Cak Rudy tak akan happy bila warisannya yang fenomenal itu kini tinggal impian.

Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, kesalah Cak Rudy yang menodai reputasinya adalah membiarkan adanya proses referendum di Timor Timur  yang berakhir lepasnya Timor Timur sebagai provinsi yang ke 27  dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR). Tetapi sebagai bangsa yang adi luhung, semua itu harus dijadikan i’tibar (pelajaran) dengan menerapkan prinsip mikul dhuwur mendhem jero. Selamat jalan Cak Rudy. *** 
Opini Warisan Habibie Yang Nyaris Hilang
Iklan Utama 5