logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Mencari Politik Jalan Tengah

Mencari Politik Jalan Tengah
Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Kekalahan Paman Jambul (baca : Donlad Trump) dalam Pilpres Amerika 2020, bisa menjadi refleksi serta i’tibar (pelajaran) yang berharga bagi para politisi dalam menentukan gaya politiknya. Dengan visi dan jargon American first yang diterjemahkan secara rasis oleh Trump, membuat mantan suami Marla Marples mengalami proses deligitimasi yang hebat. Sehingga kursi kekuasaanya bisa direbut oleh Joseph Rebinette Biden yang berhasil meraup 51, 3 % suara serta mengoleksi 290 kursi.

Tergusurnya Trump dari tampuk kekuasaanya itu tidak terlepas dari gaya politiknya yang ultra nasionalis serta ultra kanan dan cenderung rasis, yang mengingkari realitas jika para pemilih di Amerika itu adalah masyarakat urban dari berbagai negara di seluruh dunia. Sikap Trump yang chauvinis serta antipati terhadap kalangan imigran dan minoritas memberikan sumbangan terbesar atas kekalahannya. Sekaligus mengantarkan Biden sebagai Presiden Amerika yang ke 46.

Gaya politik Trump yang ultra nasionalis itu menjadi sebuah ironi tersendiri bagi Bangsa Amerika yang sering mengklaim sebagai leluhurnya demokrasi yang bersandar pada HAM dan kesetaraan. Justru selama Trump berkuasa, Amerika kerap dirundung kerusuhan yang bermula dari isu-isu rasis seperti pasca terbunuhnya George Floyd. Bahkan Trump dan pendukungnya telah melakukan sebuah kekonyolan, sebagai negara dengan sistem demokrasi yang mapan sekaligus menjadi rule model negara demokrasi yang ideal, ternyata masih juga tidak mampu bersikap legowo ketika menderita kekalahan, dan menuduh lawan politiknya telah berbuat curang. Buktinya, para pendukungnya melakukan penyerangan terhadap US Capitol, 6 Juni lalu yang mengakibatkan enam orang diantaranya tewas tertembak oleh aparat.

Semestinya Trump mau belajar dari ‘sohibnya’ yang sering diberitakan ikut cawe-cawe membantu menaikan Donald Trump sebagai ‘US One’ yang ke 45 yakni Presiden Rusia, Vladimir Putin. Meski kerap digambarkan sebagai diktator dan otoriter, presiden berwajah kaku ini ternyata berusaha terlihat untuk moderat. Bekal suara yang diperoleh Putin melalui referendum 2020 sebesar 76% serta suara yang diperoleh Partai Rusia Bersatu yang cukup hegemonik yakni 74, 44 %, tak membuatnya songong dan suka berkoar-koar.

Cara berpolitik Putin yang tetap misterius itu tentu dengan perhitungan yang cukup matang. Putin tetap berusaha moderat dan tidak terlihat agresif dalam menjalankan politiknya sehingga terkesan alumni Fakultas Hukum Universitas Saint Petersburg sebagai pribadi yang humanis dan religius, misalnya keputusannya untuk menggunakan hak vetonya untuk menolak UU yang mengesahkan perkawinan sejenis karena bertentangan dengan iman dan keyakinanya. Begitu juga halnya sikapnya yang wellcome dalam menghadapi minoritas dan imigran muslim. Meski itu tidak bisa sepenuhnya menutupi tangan besinya dalam menghadapi perlawanan Checnya maupun keterlibatan Rusia dalam krisis Suriah. Intinya, Putin ingin terlihat sebagai presiden yang menganut politik jalan tengah.

Dengan cara berpolitik yang misterius itu, Putin nyaris tidak pernah mendapat serangan berarti dari politisi domestik maupun dari negara-negara asing. Sehingga ketika Putin didaulat lagi menjadi Presiden Rusia melalui referendum, tidak ada satu pihakpun yang kepo dan komplain. Meski mantan agen KGB itu bisa menjadi diktator yang terlama di kolong jagat. Hingga saat ini Putin tercatat telah 36 tahun menduduki singgasananya. Stabilitas politik di negeri Beruang itu relative kondusif.
Contoh yang tak kalah unik adalah gaya politik yang dilakukan oleh Erdogan dalam memimpin Turki. Dalam Pilpres Turki 2018 lalu, Partai Adalet ve Kalkinma (AK) atau Partai Keadilan dan Pembangunan yang didirikan oleh Recep Tayyip Erdogan memperoleh suara yang signifikan. Dari 11 partai kontestan Pemilu, partai Erdogan ini meraup suara 51,3%. Perolehan suara Partai AK ini tidak terlepas dari positioning mereka sebagai partai moderat. Sikap politik domestik Erdogan juga cenderung moderat, terkecuali bila menghadapi isu tentang Kurdistan, Erdogan seperti tidak ada kata tawar menawar.

Meski untuk kepentingan politik domestik, Erdogan cenderung moderat. Dalam menjalankan politik luar negerinya Erdogan cenderung agresif. Misalnya dalam kasus Presiden Prancis, Emmanuale Macron, krisis dengan Yunani, konflik antara Azervbaijan lawan Armenia, Turki langsung berada di garda terdepan. Gaya politik Erdogan ini tidak terlepas dari romantisme masa lalu, di mana Emporium Turki memperoleh kebesarannya ketika era Ustmaniah. Emporium itu diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dengan politik yang agresif didukung oleh kekuatan militer yang memadai Turki ingin memberikan kesan jika Emporium Turki masih eksis meski hanya imaginer.

Tiga gaya kepemimpinan itu setidaknya bisa menjadi pelajaran bagaimana cara mengelola bangsa, terkait pola relasi antara sesama elemen bangsa. Sebaliknya, gaya kepemimpinan yang sentralistik dan hanya didikte oleh kelompok minoritas bisa memperoduksi dendam politik yang berkepanjangan. Seperti misalnya gaya kepemimpinan Presiden Irak Saddam Hussein. Di belakang Saddam adalah Partai Ba’ath yang didirikan oleh Micel Alflaq serta Salahhudin Bithar, di Damaskus, Suriah 1947.
Ketika Saddam Husein mengambil alih kepemimpinan di Iraq tahun 1963, Partai Ba’ath berada di belaknganya. Partai ini memiliki basis dukungan di kalangan Sunni. Ironisnya, masyarakat Iraq secara mayoritas adalah kalangan Syi’ah. Maka yang terjadi adalah, Saddam menggunakan tangan besi untuk menguasai Iraq selama beberapa dekade. Maka ketika Saddam tumbang, perebutan kekuasaan di Iraq hingga saat ini belum juga berakhir. Karena munculnya dendam politik antar faksi.

Mundurnya Amerika dari Iraq juga tidak terlepas dari salah perhitungan Pentagon dan Gedung Putih terhadap konstelasi kekuatan di Iraq. Semula Pentagon berasumsi pasca Saddam tumbang Iraq yang kaya dengan tambang minyak itu bisa dengan mudah dikuasai. Tetapi faktanya lain, faksi-faksi Syiah justru melakukan perlawanan yang sengit, tentu dengan campur tangannya Teheran, yang tidak ingin Iraq dianeksasi oleh Amerika. Bahkan Presiden Iraq, Nouri El Maliki adalah seorang Syiah.

Pelajaran dari dari empat gaya kepemimpinan itu adalah politik jalan tengah adalah cara yang paling efektif untuk menjaga stabilitas suatu bangsa. Terlalu ekstrem kanan dengan mengikuti kemauan mayoritas hanya akan melahirkan tirani yang membahayakan keutuhan bangsa. Sebaliknya terlalu didikte oleh minoritas yang berada di inner circle kekuasaan justru hanya akan memproduksi dendam politik yang berkepanjangan dan suatu ketika pasti bisa meledak. Terutama bagi system Pemilu secara langsung yang menggunakan popular vote , kalangan mayoritas suatu ketika bisa kembali merebut panggung.***
Opini Mencari Politik Jalan Tengah
Iklan Utama 5