logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Fatwa Palsu Untuk Membunuh Lawan

Fatwa Palsu Untuk Membunuh Lawan
Wiranto Bentuk Tim Hukum yang Tugasnya Mengkaji Ucapan dan Tindakan Tokoh Tertentu
VOleh : Gugus Elmo Ra’is

Alkisah seorang Gubernur Romawi, bernama Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43) telah mengeluarkan ‘fatwa’ hukum palsu untuk menghabisi dua serdadu yang dianggap sebagai pengkhianat. Fatwa, fiat justicia ruat caelum (tegakan hukum sekalipun langit runtuh) itu dijadikan dalil pembenaran oleh Piso untuk menghukum mati dua orang serdadu yang sempat mengambil cuti yang kemudian difitnah dan dibunuh, karena ditengarai mengetahui banyak kebobrokan Piso. Meski Piso sempat ragu, namun dia menganggap jika, apapun yang telah menjadi suatu keputusan hukum tetap harus dilaksanakan.

Semboyan retoris yang manipulatif itu kemudian melegenda, Kaisar Roma, Ferdinand I yang dikenal tiran juga suka mengutip ungkapan Piso, bahkan kemudian menambahi sebagai semboyan kerajaan menjadi, fiat justitia et pereat mundus (tegakkan keadilan agar langit tidak runtuh). Setelah sekian lama tenggelam, semboyan itu kembali muncul dan menjadi melegenda setelah sastrawan Inggris William Watson (1601) mengutip kembali semboyan itu dalam karyanya, Ten Quodlibetical Quatations Concerning Religion And State. Yang kemudian diikuti oleh William Pryne dan Nathanial Ward dalam karya masing-masing. Kini semboyan itu banyak dikutip oleh para akademisi dan praktisi hukum.

Dalam sejarah Kerajaan Singosari yang semula bernama Tumapel, petualang politik yang bernama Ken Arok juga sempat mengeluarkan ‘fatwa palsu’ untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. ‘Fatwa palsu’ itu digunakan oleh  Ken Arok untuk menghabisi Kebo Ijo yang dituduh telah membunuh Raja Tumapel, Tunggul Ametung menggunakan keris Empu Gandring yang notabene adalah keris milik Ken Arok. Padahal yang melakukan pembunuhan terhadap Tunggul Ametung itu adalah Ken Arok sendiri. Dengan fatwa palsu itulah Ken Arok berhasil merebut kekuasaan Tunggul Ametung sekaligus mempersunting istrinya yang cantik jelita yang bernama Ken Dedes.

Saat ini publik disibukkan dengan pembentukan Tim Asistensi Hukum oleh Menko Polhukam Wiranto, Kamis (9/5). Pembentukan tim yang terdiri dari 22 orang pakar hukum itu menurut keterangan salah satu anggotanya, Prof Romli Atma Sasmita, seperti yang dikutip oleh salah satu media online, adalah untuk mengawasi aktivitas  serta ucapan-ucapan 13 orang tokoh. Para tokoh yang diawasi ini secara kebetulan adalah tokoh-tokoh yang secara politik berseberangan dengan pemerintah.

Pembentukan tim ini, sangat  layak dipertanyakan. Dalam hirarki sumber hukum, doktrin atau pendapat para ahli itu memang bisa menjadi sumber hukum. Tetapi pertanyaannya sebegitu urgenkah pembentukan tim itu, sehingga pemerintah merasa perlu membentuk tim untuk mengawasi orang-orang yang masih ingin memperjuangkan hak konstitusinya. Seharusnya pemerintah memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan untuk bertindak secara professional dan independen sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.

Dengan telah ditentukan subyek hukumnya yakni 13 orang tokoh, maka kesan subyektifitas secara  otomatis akan menguat. Saya tidak meragukan kemampuan 22 orang pakar hukum itu, tetapi mereka pasti dalam posisi harus membuat formula hukum yang menguntungkan posisi pemerintah (law by order). Karena mereka pasti dapat honor dari pemerintah. Maka produk (out put) yang akan dihasilkan oleh tim bisa jadi nanti akan dituduh oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah sebagai ‘fatwa palsu’ berupa dalil pembenaran untuk menindak para tokoh yang berseberangan dengan pemerintah itu.

Bila pemerintah tetap menjalankan tim ini, maka ini adalah langkah mundur karena telah menciderai demokrasi. Bila memang para tokoh itu telah terindikasi melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, maka itu adalah domain dari aparat Kepolisian dan Kejaksaan untuk mengungkap persoalan itu secara professional dan independen, sesuai kaidah-kaidah hukum, karena Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).

Sebaliknya bila pemerintah telah menentukan orang-orang yang harus diawasi dan dicarikan dalil-dalil hukumnya, niscaya itu menimbulkan kesan dicari-cari sekaligus menimbulkan kesan jika Indonesia adalah bukan negara demokrasi  tetapi adalah negara  kekuasaan (machstaat). *** 
Opini Fatwa Palsu Untuk Membunuh Lawan
Iklan Utama 5