logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Tantiem Dobel di Perumda Pasar Jaya

Keuangan Pemprov DKI Dirugikan Belasan Milyar Rupiah
Tantiem Dobel di Perumda Pasar Jaya
Cover Majalah Pro Legal Edisi Maret - April 2023
Jakarta, Pro Legal News - Tantiem adalah keuntungan perusahaan yang dihadiahkan pemegang saham kepada direksi dan komisaris berdasarkan persentase atau jumlah tertentu dari laba bersih perusahaan. Tantiem dibagi berdasarkan aturan yang dibuat sendiri oleh perusahaan, sedangkan dividen dibagi berdasarkan proporsional kepemilikan saham.

Dividen diperoleh secara pasif oleh penerima dipotong PPh Pasal 4 ayat 2, sedangkan tantiem diperoleh atas usaha aktif penerima sebagai bentuk penghargaan dipotong PPh Pasal 21. Nah, persoalannya atas persetujuan Direktur Utama Perumda Pasar Jaya, tahun 2019 direksi dan dewan pengawas di perusahaan itu menerima tantiem atas laba tahun buku 2016 senilai Rp1.219.000.000,00, yang tidak diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2009.

Tim investigasi Pro Legal mendapatkan info, ada tantiem atau jasa produksi kepada direksi dan pengawas Perumda Pasar Jaya yang dibayarkan dua kali atau dobel. Dalam tahun 2019-2020 seluruh direksi dan dewan pengawas telah menerima jasa atas laba tahun buku (TB) 2018. Nilai keseluruhan mencapai Rp2,23 milyar (termasuk pajak Rp397 juta) sehingga yang diterima oleh para direksi dan dewan pengawas senilai Rp1,834 milyar (termasuk jasa produksi Rp1,64milyar).

Dari Keputusan Gubernur Nomor 1687/2019 tentang Pengesahan Laporan Tahunan Perumda Pasar Jaya TB 2018 diketahui bahwa Laba bersih Perumda Pasar Jaya TB 2018 adalah Rp98.722 milyar dan alokasi jasa produksi kepada pegawai, direksi, dan dewan pengawas senilai Rp2,988 milyar.

Pengesahan Laporan Tahunan Perumda Pasar Jaya ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pembinaan BUMD Pemprov DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2020 tanggal 20 November 2020. Laba bersih Pasar Jaya TB 2019 Rp103,844 milyar dan alokasi jasa produksi Rp4,2 milyar.

Sumber Pro Legal mengungkapkan. dalam tahun 2019, direksi dan dewan pengawas menerima tantiem senilai Rp1,219 milyar (setelah dipotong pajak). Tercatat tantiem itu diberikan awal April 2019. atas laba TB 2016. “Padahal, mereka pada tahun 2017 sudah menerima jasa produksi atas laba TB 2016,” kata sumber itu.

Data Tempat Usaha

Penelusuran Tim Investigasi Pro Legal juga menemukan, pengelolaan dan penyimpanan data tentang tempat usaha maupun pedagang di ligkungan Perumda Pasar Jaya masih acak-acakan. Setidaknya, ada 17 pasar di lingkungan Perumda Pasar Jaya yang tidak membuat dokumen Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU) kepada direksi. Bahkan setidaknya ada 48 pasar yang rekap PPTU-nya tidak ditemukan di lingkungan administrasi Divisi Komersial dan Pengembangan Usaha Perumda Pasar Jaya.

Tim Pro Legal menemukan pula, banyak pedagang yang menunggak pembayaran biaya pengelolaan pasar (BPP) maupun dendanya. Tidak adanya PPTU mengakibatkan tidak ada perikatan hukum yang menjamin dan mengatur hak maupun kewajiban pihak pedagang dan Perumda Pasar Jaya. Semuanya menjadi rancu jika ada sengketa hukum. Padahal Direksi Perumda Pasar Jaya membayar secara rutin ratusan juta rupiah honor tiga firma hukum yang dikontraknya.

Sumber Pro Legal di lingkungan Pasar Jaya mengungkapkan, ada sekitar 500 pedagang di 90 pasar di Perumda Pasar Jaya yang ‘menempati’ atau memiliki hak pakai atas lebih dari lima unit tempat usaha (TU). Hak Pemakaian yang melebihi lima unit TU itu menimbulkan potensi monopoli oleh pedagang atau badan usaha tertentu.

Sumber itu menjelaskan juga, ada setidaknya 1.700 tempat usaha yang tergolong pelataran dan tenda di belasan pasar di lingkungan Perumda Pasar Jaya. Tempat usaha yang demikian merupakan sumber kecurangan di lapangan selama bertahun-tahun. “Mungkin sudah belasan tahun, karena memang harga sewanya tidak diatur sama sekali,” kata sumber itu.

Dikemukakannya juga, pengelolaan data yang berantakan itu menyebabkan perhitungan tarif sewa atau BPP yang lebih rendah dari semestinya. Menurut sumber Pro Legal, sejak penerapan tarif akhir tahun 2018 sampai pertengahan tahun 2020, ditemukan kerugian BPP senilai Rp 12,5 milyar. “Itu temuan pemeriksaan Bepeka (Badan Pemeriksa Keuangan, Red) dua tahun yang lalu,” ujar sumber itu.

Sumber lain mengungkapkan, kehilangan sewa tempat usaha atau BPP yang terbesar terjadi di Unit Pasar Besar (UPB) Induk Kramat Jati di Jakarta Timur. “Kebosoran di Kramat Jati sekitar Rp 9,3 milyar selama belasan bulan,” kata sumber itu.
Ternyata, cukup banyak kerugian keuangan Pemprov DKI Jakarta yang berlangsung di lingkungan Perumda Pasar Jaya. Dari kekacauan pengelolaan data tempat usaha saja, muncul kerugian sekitar Rp 12,5 milyar.

Konsultan Hukum

Selain itu, ada juga kerugian keuangan Pemprov DKI senilai Rp 3,5 milyar yang terjadi akibat kongkalikong dalam penunjukan konsultan proyek sertifikasi hak pengelolaan lahan (HPL) di 63 lokasi di lingkungan Perumda Pasar Jaya. Juga ada pembayaran kontrak tiga konsultan hukum oleh pihak direksi, yang mencapai ratusan juta rupiah.

Perumda Pasar Jaya diduga memboroskan ratusan juta rupiah per tahun guna membayar jasa konsultan hukum. Bahkan ada firma hukum yang sudah belasan tahun menjadi langganan Perumda Pasar Jaya dan setiap tahun selalu mendapat perpanjangan. Secara keseluruhan, pihak Pasar Jaya membayar jasa konsultan hukum ratusan juta rupiah.

Sumber Pro Legal menjelaskan, sejauh ini ada tiga firma hukum yang dibayar oleh Perumda Pasar Jaya guna menyelesaikan urusan internal. Masing-masing dikontrak antara 6-21 bulan dengan kisaran honor Rp 10 juta -15 juta per bulan. “Belum termasuk tunjangan pajak dan tunjangan hari raya mereka,” kata sumber itu.

Tidak diperoleh keterangan rinci tentang masalah-masalah internal di lingkungan Perumda Pasar Jaya yang terjadi dan yang diselesaikan. “Yang jelas, ada perjanjian dan Surat Perintah Kerja (SPK, Red) yang diterbitkan direksi Perumda Pasar Jaya buat tiga firma konsultan hukum,” sumber Pro Legal menjelaskan.

Belasan tahun

Salah satu firma menjadi konsultan hukum Perumda Pasar Jaya sejak tahun 2008 dan setiap tahun selalu diperpanjang kontraknya. Perpanjangan perjanjian tahun 2020, dibuat berdasarkan surat Direktur Utama Perumda Pasar Jaya Nomor 144/073.3 tertanggal 20 Februari 2020.

Lingkup pekerjaan firma itu sejak awal tahun 2008 sampai dengan tahun 2020 adalah jasa konsultansi dan bantuan hukum dalam permasalahan internal perusahaan, serta litigasi dan jasa advokasi permasalahan hukum di tingkat pengadilan maupun Mahkamah Agung, maupun non litigasi. Perpanjangan diajukan pihak firma hukum dan sejak tahun 2008 selalu disetujui Direktur Utama Perumda Pasar Jaya.

Salah satu sumber Pro Legal mengungkapkan, pihak Divisi Legal dan Sekretaris Perusahaan Perumda Pasar Jaya selalu berdalih bahwa firma itu sudah tahu masalah internal sejak lama. Sehingga kontraknya dibuat beerdasarkan penunjukan langsung.

Kabarnya Direksi Perumda Pasar Jaya berdalih bahwa kontrak firma itu selalu diperpanjang setiap tahun karena banyak kasus yang berhubungan dengan kasus-kasus yang ditangani firma itu di masa lalu. Padahal Peraturan Direksi Perumda Pasar Jaya Nomor 85 Tahun 2019 tertanggal 26 Maret 2019 menegaskan penunjukan langsung konsultan hukum dibatasi paling banyak dua kali.

Pihak firma mendapat tunjangan hari raya (THR) Rp 15 juta. Pemberitan THR pernah terhenti, tapi pihak firma mengajukan permohonan yang disetujui Direktur Utama Perumda Pasar Jaya yang kemudian memberi disposisi kepada Manager SDM.

Firma lainnya dikontrak sejak Februari 2019 berdasarkan SPK tertanggal 29 Januari 2019. Lingkup pekerjaan meliputi jasa konsultansi hukum dan pendampingan untuk Perumda Pasar Jaya di Pasar Senen Blok III dan VI. Awalnya dikontrak selama enam bulan terhitung 1 Februari 2019, tapi pekerjaan itu berlanjut. Perpanjangan selama 14 bulan dilakukan berdasarkan SPK Nomor 97/073.554 tanggal 17 Februari 2020.

Firma lainnya mendapat jatah pekeerjaan dari Perumda Pasar Jaya sejak tahun 2019 berdasarkan SPK Nomor 120/073.554 tertanggal 29 Januari 2019. Lingkupnya adalah melaksanakan jasa konsultansi hukum dan pendampingan untuk Perumda Pasar Jaya di Pasar Sunan Giri. Jangka waktu pekerjaan selama enam bulan terhitung 3 April 2020.

Konsultan Sertifikat

Pemilihan dan penunjukan PT MMS sebagai konsultan yang menangani sertifikasi hak pengelolaan lahan (HPL) Perumda Pasar Jaya juga terlihat tidak wajar. Tim redaksi menemukan fakta, Perumda Pasar Jaya menggunakan metode penunjukan langsung dalam memilih PT MMS dan diwarnai proses akal-akalan.

Proses pemilihan penyedia jasa konsultan sertipikasi HPL di Perumda Pasar Jaya sarat penyimpangan. Pemilihan dilakukan oleh Kepala Divisi PPA pada Perumda Pasar Jaya. Kepala Divisi PPA Pasar Jaya mendapat rekomendasi Ar, seorang Tenaga Ahli Pratama di Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta yang ditugasi mengikuti pensertipikatan HPL Perumda Pasar Jaya.

Hasil penelusuran Tim Pro Legal menunjukkan, atas rekomendasi itu kemudian Kadiv PPA Pasar Jaya menghubungi perempuan bernama Ir. Setelah itu, Ir menghubungi pihak PT MMS, sebuah perusahaan konsultan dan menjembataninya dengan pihak Perumda Pasar Jaya.

Didapat informasi, Direktur Keuangan dan Administrasi Perumda Pasar Jaya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersama staf di Pengadaan dan Pengelolaan Aset (DPPA) menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Mereka menetapkan HPS senilai Rp16.773.350.000 (termasuk PPN 10 persen). Disebutkan bahwa penyusunan HPS itu berdasarkan Pedoman Standard Minimal tahun 2018 yang diterbitkan Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo).

Pihak PT MMS mendapat pengarahan Ar dalam menyiapkan penawaran pekerjaan sebagai konsultan jasa sertipikasi tanah. Perusahaan itu mengajukan penawaran pekerjaan sertipikasi HPL 63 bidang lahan di lingkungan Perumda Pasar Jaya dengan nilai Rp 16,464 M. Sedikit lebih rendah dari HPS yang disusun pihak Pasar Jaya.

Sumber Pro Legal menjelaskan, Ar mengatur agar PT MMS lolos sebagai perusahaan jasa konsultan pemenang. Supaya rencana itu terlaksana, Ar meminta Direktur PT MMS mencari dua perusahaan selain PT MMS yng bersedia mengajukan penawaran pekerjaan jasa sertipikasi HPL di Perumda Pasar Jaya. Kedua perusahaan itu digunakan sebagai perusahaan pembanding.

Sumber Pro Legal menjelaskan, pihak direksi PT MMS menghubungi PT BMS dan PT BSM dan meminta kedua perusahaan itu membuat surat penawaran jasa sertipikasi HPL. Pimpinan kedua perusahaan itu diberitahu bahwa PT MMS sudah membuat penawaran di Perumda Pasar Jaya tentang pekerjaan jasa sertipikasi itu.

Penawaran yang diajukan PT MMS tertanggal 5 Maret 2019, bernilai Rp16,464 milyar. Supaya PT MMS muncul sebagai pemenang jasa konsultansi pensertipikatan HPL di Perumda Pasar Jaya, maka nilai penawaran PT BMS dan PT BSM harus lebih tinggi.

Pihak PT tanggal 21 Maret 2019 mengajukan dokumen penawaran dan mencantumkan nilai Rp 17,36 M. Pada hari yang bersamaan, pihak PT BMS mengajukan dokumen penawaran jasa yang sama dengan nilai Rp18,14 milyar. Kedua perusahaan pembanding itu menawarkan harga yang lebih tinggi dari HPS. Berdasarkan pembandingan nilai yang ditawarkan, akirnya PT MMS.memenangkan pekerjaan jasa konsultasi yang ditawarkan.

Direksi Perumda Pasar Jaya kemudian menunjuk PT MMS dan membuat Perjanjian Jasa Konsultasi No 305/1.711 tertanggal 12 Juli 2019. Isinya menyebutkan PT MMS harus mengurus sertifikasi HPL atas nama ‘Pemprov DKI Jakarta’ terhadap 63 lahan yang dikelola Perumda Pasar Jaya. Nilai kontrak keseluruhan Rp 16,33 M, sudah termasuk pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.

Dalam perjanjian awal disepakati bahwa pekerjaan sertipikasi itu diselesaikan selama tujuh bulan, sampai 31 Desember 2019. Belakangan dibuat addendum No 1146/1.711 tertanggal 5 Desember 2019, isinya mengubah nama pada sertifikat HPL dari ‘Pemprov DKI Jakarta’ menjadi ‘Perumda Pasar Jaya’.

Entah apa alasannya, tepat pada Tahun Baru 1 Januari 2020, dibuat lagi addendum dengan nomor 1270/1.711, isinya memperpanjang jangka waktu kontrak yang semulai hanya sampai dengan 31 Desember 2019 menjadi 31 Agustus 2020. Ternyata pekerjaan itu tidak terselesaikan pada waktunya, sehingga dibuat addendum ketiga antara Perumda Pasar Jaya dengan PT MMS, bernomor 678/1.711 tertanggal 1 September 2020, isinya memperpanjang waktu kontrak setahun sampai dengan 31 Agustus 2021.

Sumber ProLegal menyebutkan, sampai akhir Oktober 2020 setelah dibuat addendum yang ketiga, realisasi pembayaran kepada PT MMS baru senilai Rp 4.74 milyar. “Waktu itu sisa yang belum direalisasikan pembayarannya bernilai Rp11,6 milyar,” ujar sumber itu.
Tahap pertama pembayaran dilakukan dengan Surat Perintah Mengeluarkan Uang (SPMU) tertanggal 18 Juli 2019 senilai Rp 2,29 milyar. Disusul realisasi pembayaran tahap kedua dengan SPMU tertanggal 28 November 2019 senilai Rp 2,45 milyar. “Jadi waktu itu semuanya bernilai Rp 4,74 milyar,” ujar sumber Pro Legal yang lain.

Bukan Ahli

Ternyata pihak PT MMS mencantumkan 17 tenaga ahli dalam kontrak. MW yang bertindak sebagai Team Leader dan Rn sebagai tenaga ahli, sejak awal pekerjaan sampai awal Oktober 2020 sama sekali tidak pernah hadir di Perumda Pasar Jaya. Sisa 15 yang disebut sebagai tenaga ahli, ternyata adalah orang-orang yang tidak memiliki sertifikat keahlian dan pengalaman dalam pengurusan sertifikat tanah.

Dari nilai Rp 4,74 milyar yang keluar dari kas Perum da Pasar Jaya, dipotong pajak penghasilan sehi ngga tersisa Rp 4,65 milyar yang ‘diterima’ oleh PT MMS. Dari jumlah itu, disetorkan ke Kas Negara oleh PT MMS sebagai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen senilai Rp 430,58 juta. Sisanya dibagi-bagi.

Pihak PT MMS kabarnya sesungguhnya hanya menerima Rp 507 juta. Kelompok Ir menerima Rp 300 juta. Sisanya yang bernilai sekitar Rp 3,41 milyar, ‘dikelola’ dan digunakan oleh Ar dan teman-temannya.

Dari uang senilai Rp 4,65 yang ‘dibayarkan’ Perumda Pasar Jaya kepada pihak PT MMS, ternyata hanya Rp 1,1 M yang bisa dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti pengeluaran yang wajar dan sah. Tidak diperoleh bukti pengluaran yang sah dan wajar atas uang senilai Rp 3,55. “Pihak Perumda Pasar Jaya sudah tahu soal itu dan sudah melakukan verifikasi,” kata sumber Pro Legal.

Beberapa sumber Pro Legal menyebutkan, hasil audit atau verifikasi itu menunjukkan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam realisasi ‘pembayaran’ kepada PT MMS sampai akhir Oktober 2020 bernilai Rp 3,55 milyar. Redaksi sudah menanyakan secara resmi kepada pihak Direksi Perumda Pasar Jaya mengenai sejumlah temuan itu, namun sampai laporan ini diturunkan, belum diperoleh tanggapan. Tim
Tipikor Tantiem Dobel di Perumda Pasar Jaya
Iklan Utama 5