logo
Tentang KamiKontak Kami

Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK

Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK
Mahkamah Konstitusi
Pemohon lebih banyak mengurai kasus konkrit. Pemohon diminta memperbaiki sistematika permohonan agar menjadi jelas kerugian konsitusional dan pertentangan normanya.

Pro Legal News Gara-gara kendaraannya ditarik perusahaan leasing, Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo pun mempersoalkan masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) terkait sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya, jika debitur ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang).
Dalam sidang perdana, Suri Agung menyampaikan dalam kasus konkrit pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). “Kami telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT ASF,” ujar Suri dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Selasa (12/3/2019).
Pasal 15 UU Jaminan Fidusia
Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA",
Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Kasus ini bermula, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Aprilliani dan Suri berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp 222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 hingga 18 Juli 2017, Pemohon telah membayarkan angsuran tepat waktu.
Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan mereka dengan dalil/alasan wanprestasi. Atas perlakuan tersebut, Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga mendapat beberapa perlakuan tidak menyenangkan.
Menerima perlakuan tersebut, keduanya berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 24 April 2018. Dasar gugatannya, perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.
Pengadilan pun mengabulkan gugatan Aprilliani dan Suri dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, keduanya menilai PT ASF telah berlindung di balik Pasal 15 UU Jaminan Fidusia yang diujikan dalam perkara a quo.
Padahal, kata Suri, putusan PN Jakarta Selatan tersebut lebih tinggi daripada UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan demikian, Suri pun berpendapat tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia.
“Sesuai hasil keputusan pengadilan itu, pihak PT ASF tidak bisa mengambil mobil. Namun kenyataannya, tetap mengambil paksa. Jadi, akibat Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia, kami merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Kita meminta kepada Mahkamah agar pasal itu bertentangan dengan UUD 1945,” kata Suri.
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel I Dewa Gede Palguna yang didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota, menganggap ada ketidakjelasan kerugian konstitusional yang disampaikan Pemohon. Palguna menilai permohonan ini lebih banyak menjabarkan kasus konkrit yang dialami para Pemohon.
Karena itu, Palguna mengingatkan para Pemohon agar memahami syarat tertentu atas hal-hal yang termasuk dalam kategori kerugian konstitusonal. “Jadi, kenapa pasalnya bertentangan? Anda harus fokus pada pasal yang diujikan itu dengan menguraikan kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal a quo dengan UUD 1945. Kenapa bertentangan?” kata Palguna.
Anggota Majelis Panel, Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon melihat dan mempelajari sistematika permohonan yang lazim di MK. Menurut Enny, permohonan ini sulit dipahami, sehingga Mahkamah mengalami ketidakmengertian hal yang dimaksudkan (diminta) Pemohon.
"Perbaiki sistematika kelaziman mengajukan permohonan di MK dan kedudukan hukum Pemohon. Jika tidak jelas, kita tidak akan bisa masuk ke pokok permohonan. Jadi, hak konstitusional apa yang diberikan UU a quo, kemudian terlanggar?” saran Enny. Redaksi Pro Legal Mengutip Artikel yang sudah ditayangkan https://www.hukumonline.com/
Perdata Ketika Wanprestasi Leasing Kendaraan Berujung ke MK