logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Mungkinkah MK Bisa Obyektif ?

Mungkinkah MK  Bisa Obyektif ?
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Penyelesaian sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menjadi sebuah diskursus pendidikan hukum formil dan hukum materiil sekaligus sebagai parameter kedewasaan berdemokrasi bangsa ini. Tetapi bila melihat proses persidangan, menimbulkan pertanyaan besar, apakah majelis hakim MK akan bisa mengambil putusan yang benar-benar obyektif sesuai dengan fakta hukum yang sesungguhnya.

Apalagi hasil putusan nantinya, tidak hanya sekedar tentang hitungan hasil akhir tetapi lebih dari itu sebagai upaya untuk menciptakan standar moralitas baru bagi bangsa ini dalam menjalankan Pemilu sebagai tahapan berdemokrasi. Sehingga bisa menjadi yurisprudensi dalam kasus-kasus serupa.

Tulisan ini tidak bermaksud meragukan integritas para hakim MK, tetapi lebih tentang masa persidangan yang sangat pendek, sehingga secara teknis yuridis, upaya hakim untuk menggali bukti-bukti materiil menjadi tidak optimal. Sebagai catatan, untuk perkara yang menyangkut hajat hidup sekitar 260 juta jiwa serta telah menelan korban jiwa sekitar 500 orang ini, MK hanya memiliki waktu mulai dari registrasi permohonan tanggal 24 Mei  hingga  putusan yang dijadwalkan pada tanggal 28 Juni, artinya lamanya persidangan itu kurang lebih satu bulan.

Padahal cakupan kasus ini sangat besar baik terkait dengan tempat kejadian perkara (locus delicti)  maupun lamanya waktu terjadinya perkara (tempus delicti), sesuai dengan tahapan Pemilu dari masa kampanye, pencoblosan hingga penghitungan suara. Mekanisme pembuktian sebagai upaya untuk menggali fakta hukum itu pasti memerlukan saksi yang tidak sedikit. Keberadaan jumlah saksi menjadi unsur terpenting dalam proses hukum, sehingga melahirkan permis unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi).

Pembatasan jumlah saksi itu menjadi 15 orang serta 2 saksi ahli itu merupakan dilema tersendiri, disatu sisi majelis hakim MK dihadapkan deadline putusan hingga tanggal 28 Juni  disisi lain upaya pembuktian itu menjadi tidak maksimal.  Harapan hakim bisa bersikap benar-benar bersikap obyektif bisa dipertanyakan. Sementara bila hakim mengambil putusan dengan petitum yang berdasarkan alat bukti yang minim, majelis hakim akan dituduh tidak obyektif serta akan mengganggu proses pemulihan keperacayaan masyarakat terhadap MK pasca terjadinya kasus suap Patrialis Akbar dan Akil Mochtar.

Pendeknya masa persidangan itu bisa menjadi sebuah ironi, bila dikomparasikan dengan kasus Jessica yang didakwa telah memberikan minuman yang terindikasi mengandung racun. Dalam kasus yang mengakibatkan seorang Mirna Salihin tewas itu, majelis hakim  memberikan waktu kepada para pihak hingga 32 persidangan atau sekitar 7 bulan dengan jumlah saksi sekitar 54 orang saksi. Sehingga menjadi salah satu masa persidangan terpanjang dalam sejarah.

Masa persidangan yang pendek itu semestinya  disiasati oleh kuasa hukum pemohon dengan melakukan  pendekatan kualitatif. Tak perlu menggunakan petitum-petitum yang indah didengar dengan mengutip banyak pendapat pakar hukum seperti halnya pledoi Soekarno, Indonesia Menggggugat (Indonesie Klaaght Aan) tetapi akhirnya kesulitan membuktikan sehingga menimbulkan kesan hanya berdasarkan asumsi semata.

Kuasa hukum pemohon seharusnya membuat skala prioritas dengan melakukan pendekatan kualitatif untuk membuktikan tuduhan terjadinya pelanggaran TSM. Seperti misalnya, kuasa hukum pemohon bisa mencontoh cara kubu Donald Trump dalam menjegal Hillary Clinton sebagai rivalnya dalam Pilpres Amerika. Saat itu kubu Trump berhasil  membuka kasus  surel (surat elektronik), pribadi milik Hillary untuk kepentingan tugas Negara sebagai bentuk abuse of power (penyalah gunaan wewenang). Dan akhirnya Hillary terjegal dan kalah melawan Trump.

Ada kemungkinan tuduhan TSM yang dilakukan oleh pemohon terhadap termohon bisa dilacak menggunakan  jejak digital melalui digital forensik. Apabila pemohon bisa melakukan itu, maka akan tercipta standar moralitas baru bagi para petahana maupun ASN dalam menggunakan fasilitas Negara untuk kegiatan-kegiatan politik.

Sementara sikap termohon yang ofensif dengan mempersoalkan perbaikan pemohon sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum acara (hukum formil) juga agak disayangkan. Karena sikap itu justru akan memunculkan sikap jika termohon dalam hal ini pihak KPU tidak seratus persen netral. Seharusnya mereka hanya konsentrasi untuk menjawab tuduhan pemohon dengan berbagai alat bukti. Sehingga bisa dibuktikan jika berbagai tuduhan pemohon itu tidak benar dan mereka telah bekerja sesuai SOP yang berlaku. ***
Opini Mungkinkah MK  Bisa Obyektif ?
Iklan Utama 5