logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Menghalalkan Segala Cara Demi Satu Tujuan

Menghalalkan Segala Cara Demi Satu Tujuan
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dalam khasanah filsafat ilmu pengetahuan ada beberapa metodologi atau aliran dalam proses untuk mencapai tujuan. Ada panteisme ala Parmenides, empirisme, realisme, positivisme, pragmatisme hingga intuisi. Sebenarnya antara empirisme ala Jhon Locke, Thomas Hobbes, David Hume dengan positivisme ala August Comte dan Imannual Kant relatif sama, semua bermuara pada hasil dan tujuan akhir (out come). Karena esensi dari proses perubahan adalah tujuan akhir untuk menjadi lebih baik.

Tetapi menurut Henry Bergson, Frederich Nietche dan Maslow, intusisi atau dalam terminology Imam Al Gazhali sebagai ma’rifatullah menempati dimensi paling tinggi karena melibatkan wahyu illahi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan. Karena  menurut Al Gazahli, ilmu diklasifikasikan  menjadi dua, ilmu syar’iah dan ilmu aqliyah. Syar’iah adalah ilmu-ilmu yang berhubungan langsung dengan Tuhan, sementara aqliyah adalah tentang ilmu-lmu pasti. 

Secara kekinian yang justru berkembang dan menjadi fenomena adalah metodologi pragmatisme. Sesuai definisi dari Robert S Pierce dan William James pragmatisme adalah sebuah metodologi yang hanya mengacu pada tujuan praktis semata. Sehingga mengesampingkan, nilai-niai dalam proses pencapainnya. Gejala ini yang saat ini kita rasakan dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk dalam dunia politik. Sehingga menimbulkan kesan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Sesungguhnya secara kosmos fenomena pragmatisme manusia itu pernah diprediksikan oleh, Raja Kediri sekaligus seorang Pujangga,  Sri Maharaja Mapanji  Jayabayha (abad 11) yang lebih dikenal dengan Joyoboyo. Dalam kitab karya Joyoboyo, Serat Jayabhaya Musarar dan Serat Pritiwiknya, Joyoboyo telah mengisyaratkan, yen wis titi wancine jaman edan, sopo sing ora melu edan ora bakal keduman (bila sudah waktunya jaman gila, siapa yang tidak ikut gila tidak bakalan dapat bagian). Prediksi Joyoboyo itu saat ini benar-benar terjadi dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam politik.

Para politisi cenderung pragmatis demi memenuhi syahwat politiknya. Begitu memegang kekuasaan politik, para politisi cenderung melupakan amanah sucinya sebagai wakil rakyat. Mereka begitu asyik untuk menikmati kekuasaan sekaligus berusaha mempertahankan kekuasaan. Dengan berbagai cara masing-masing pihak menggunakan berusaha untuk menjegal dan mengalahkan lawan politiknya. Dalam buku yang sama, Joyoboyo juga sempat memprediksikan jika fenomena pragmatisme tidak segera dihentikan akan memunculkan satu tragedi, pithik jago tarung sak kadang (ayam jago bertarung satu kandang), dalam konteks kekinian prediksi Joyoboyo itu bisa bermakna para putra terbaik akan saling baku bunuh untuk memperebutkan tampuk kekuasaan. Dampaknya bisa ditebak, akan terjadi perseteruan dan perpecahan yang  bisa menimbulkan ancaman disintegrasi bangsa. Dan prediksi itulah yang saat ini kita alami.

Maka menyadari potensi terjadinya perpecahan itulah, Joyoboyo sempat memberikan petuah bijak, ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi janganlah begitu), artinya semua pihak harus bisa menahan diri dalam setiap menghadapi persoalan dan jangan hanya mengikuti ego diri sendiri maupun kelompoknya. Karena bangsa ini dibangun atas dasar komitmen bersama dari berbagai  elemen yang sangat majemuk.

Sehingga para founding fathers kita telah menjahit mozaik kebangsaan itu dengan sebuah somboyan bahasa Jawa kuno, Bhineka Tunggal Ika yang berasal dari kitab Sutasoma dengan arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Dengan semboyan itulah sekitar 300 etnik dan 734 suku bangsa bisa dipersatukan dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).***
Opini Menghalalkan Segala Cara Demi Satu Tujuan
Iklan Utama 5