logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Demi Kepastian Hukum, Perlu Redefinisi Makar

Demi Kepastian Hukum, Perlu Redefinisi Makar
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pro Legal News - Ditangkapnya beberapa tokoh dengan delik makar beberapa waktu lalu, melahirkan sebuah diskursus hukum yang menarik tentang definisi makar. Salah interpretasi 23 pasal dalam KUHP tentang Keamanan Negara yang mengatur  tentang perbuatan makar  akan menjadi preseden buruk dalam penegakkan supremasi hukum (law enforcement). Karena definisi yang multitafsir, pasal itu bisa menjelma menjadi ‘pukat harimau’ atau pasal karet seperti halnya UU Subversif yang pernah diterapkan pemerintahan Orde Baru. UU  Subversif itu terbukti efektif untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintah yang kritis, sehingga pemerintah Orba  dikenal sebagai otoritarian.

Sebaliknya sikap kritis terhadap pemerintah tanpa dibarengi etika dalam menyampaikan kritiknya, hanya akan melahirkan anarkhisme politik. Apalagi bila sikap kritis itu dibarengi dengan keinginan untuk melakukan perubahan secara inskontitusional, ini jelas-jelas sebagai bentuk cup de’etat (kudeta terselubung). Maka perlu adanya aturan hukum yang jelas sehingga membatasi ruang terjadinya penyerangan maupun pelecehan terhadap simbol-simbol negara. Namun sikap kritis terhadap pemerintah sebagai bagian dari demokrasi (qonditio sine qua non) bisa terakomodir seperti halnya teori propperian, Karl Raymond Propper.         

Seperti diketahui bahwa definisi makar yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab, makron beradasarkan  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti akal busuk dan tipu muslihat. Dalam KBBI itu makar juga  bisa diartikan sebagai perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang. Perbuatan makar itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP diatur dalam Pasal  104 terkait dengan keselamatan presiden, Pasal 106 terkait dengan pemisahan Negara kekuasaan dan Pasal 107 tentang menghasut untuk menggulingkan pemerintah yang sah.

Keberadaan pasal-pasal itu membuktikan jika para founding fathers kita telah meletakan pondisi hukum yang kokoh dan komperhensif. Hampir semua aspek kehidupan diberi payung hukum.  Tinggal aparat penegak hukum  kita bias menafsirkan kaidah-kaidah itu secara kekinian. Sehingga penerapan kaidah-kaidah itu tidak malabrak kaidah-kaidah hokum yang baru sekaligus dikemudaian hari dinilai melanggar HAM.    

Maka kini pertanyaannya adalah, apakah perbuatan para tokoh  yang ditangkap itu  sudah memenuhi unsur tindak pidana makar itu apa belum. Apalagi sebagian pakar hukum berpendapat jika  terminologi makar berasal dari Bahasa Belanda, aanslag yang secara etimologi berarti menyerang, serangan/atau penyerangan. Dengan pengertian apakah perbuatan para tokoh yang dijerat dengan pasal makar itu telah melakukan perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).  Dalam konteks inilah alat-alat bukti  sangat menentukan  bisa tidaknya dikenakan delik makar terhadap para tokoh itu.

Karena menurut Prof Moeljatno, niat para pelaku kejahatan termasuk pelaku makar (mens rea), itu baru bisa dikatakan ada unsur kesengajaan (dolus), apabila sudah ada pemulaan tindakan nyata. Apakah baru sekedar melakukan retorika jika ingin melakukan revolusi atau people power.

Sementara pada 31 Januari 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya no 7/PUU-XV/2017 telah menolak permohonan uji materiil (judicial review) atas Pasal 87, 104, 106, 107, 108, 139a, 140 KUHP, sehingga eksistensi delik makar di Indonesia masih konstitusional. Maka untuk melindungi hak-hak para tersangka agar tidak dijerat dengan menggunakan pasal karet atau pukat harimau, perlu ada redefinisi dalam pasal-pasal delik makar itu, menjadi lebih detail dan terinci.

Meski semua sepakat jika kepentingan negara harus diletakkkan diatas segala-galanya. Seperti halnya premis Marcus Tullius Cicero yang menyatakan, "The safety of the people shall be the highest law," yang bermakna  bahwa bila ada tindakan menyerang kepentingan hukum dari tegaknya suatu pemerintahan yang sah dengan cara atau jalur yang inkonstitusional, padahal terdapat jalur hukum yang disediakan oleh Undang-Undang, maka yang berpotensi ikut terancam adalah keselamatan bangsa dan masyarakat itu sendiri. Sehingga semua tindakan yang berpotensi mengancam keselamatan bangsa dan Negara itu harus ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.***
Opini Demi Kepastian Hukum, Perlu Redefinisi Makar
Iklan Utama 5