logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Mencari Tuhan Di Balik Sepotong Roti

Mencari Tuhan Di Balik Sepotong Roti
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Karena manusia diciptakan dilengkapi dengan akal dan pikiran, yang bisa melahirkan kreatifitas dengan daya nalar yang dimilikinya. Namun karena akal dan pikirannya itu juga manusia terkadang bersikap kemlinthi/songong (pongah), untuk mempertanyakan tentang berbagai hal, meski tak jarang justru kebabalasan. Hanya karena dia yakin bahwa otak itu adalah sumber kehidupan. Setiap fenomena harus diinterprestasi menggunakan rasio, dan bukan hanya berdasar keyakinan.

Sikap kritis untuk menginterprestasi setiap fenomena ini dalam skala tertentu sangat diperlukan sehingga terjadi perubahan dan perkembangan yang dinamis. Tetapi sikap kritis itu tak jarang justru digunakan untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan yang keberadaannya dinilai bersifat maya (ghaib). Sehingga kaum atheis selalu beranggapan jika Tuhan itu ada karena kita anggap ada.

Sebaliknya, kalau dianggap tidak ada ya tidak ada, karena wujudnya tidak terlihat secara kasat mata. Dialektika proses pencarian Tuhan itu terjadi mulai ketika munculnya peradaban di muka bumi ini hingga saat ini. Filsuf asal Prancis, Descrates bahkan pernah membuat ungkapan yang sangat terkenal, Cogito ergo sum (karena berpikir maka aku ada). Maka keberadaan setiap individu diukur dari kreatifitasnya dalam menggunakan akal dan pikirannya serta bukan karena wujudnya secara fisik.

Bahkan dalam Al Qur’an juga telah diungkapkan jika manusia itu cenderung pembantah berdasarkan akal dan pikiran yang dimilikinya. “Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi pembangkang yang nyata!. (Q.S. Yaasiin :77). Maka tak mengherankan bila semakin luas pengetahuan dan ilmu seseorang, maka pribadinya akan semakin kritis untuk menyikapi setiap fenomena yang ada di sekitarnya.

Kembali kepada pertanyaan awal dimana tempat untuk mencari Tuhan ?, maka salah satu jawabannya adalah di balik sepotong roti. Sebelum terjadinya ledakan dahsyat yang terjadi pada 13,7 milliar tahun silam atau yang lebih dikenal sebagai teori Big Bang, alam semesta ini adalah gugusan galaxy yang menyerupai roti  kismis. Adalah Georges Lemaitre seorang Biarawan Katolik asal Belgia yang pada abad 21 bersama dengan fisikawan Alexandre Friedman serta Edwin Huble tepatnya pada tahun 1928 yang memberi nama teori Big Bang. Pasca terjadinya ledakan itulah gugusan galaxy itu terpecah menjadi beberapa planet dalam system tata surya, dan salah satunya adalah planet bumi yang kita tempati saat ini.

Terus bagaimana cara kita membuktikan jika ledakkan itu adalah kuasa Tuhan sekaligus untuk membuktikan jika Tuhan itu ada. Selain Georges Lemaitre, kosmolog dan fisikawan Firtjof Capra dan Gary Zukav yang membuat hipotesa jika temuan-temuan fisika modern itu selaras dengan pandangan religius dari timur. Bahkan Stephen Hawking melalui bukunya A Brief History of Time, memberikan persepektif baru tentang kebaradaan Tuhan yang dinilai selaras dengan teori relativitas umum, Einstein.

Eloknya, baik Capra maupun Zucav mengamini hipotesis sebelum munculnya nama teori Big Bang sesuai dengan QS, An Anbiya (30) yang menyatakan bahwa gugusan galaxy ini semula bersatu, “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman,”. Ayat ini muncul era kenabian yakni pada abad ke 6. Bila dikaji secara ilmiah, Nabi Muhammad SAW sebagai (messenger) pembawa pesan itu memiliki latar belakang sebagai seorang saudagar dan bukan fisikawan.

Apakah mungkin wahyu yang tersurat dalam QS,An Anbiya itu adalah tulisan atau karangan Nabi Muhammad SAW yang nota bene tidak memiliki disiplin ilmu dalam bidang fisika. Sehingga jawabannya adalah, wahyu itu mustahil sebuah karangan kecuali jika ayat itu adalah kalam Illahi dibalik sepotong roti kismis yang meledak dan menjadi gugusan galaxy yang salah satunya adalah bumi. Kesimpulannya, semua pesan dan nilai yang dibawa oleh agama-agama terutama agama Samawi itu sebenarnya bersifat scientific, dan tidak dogmatis yang bias diinterprestasi hanya menggunakan kaca mata iman semata. Tetapi karena keterbatasan akal kita, tidak banyak yang mampu untuk menginterprestasi semua nilai yang telah dibawa oleh agama itu.***
Opini Mencari Tuhan Di Balik Sepotong Roti
Iklan Utama 5