logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Indonesia Toserba Ideologi

Indonesia Toserba Ideologi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Tak ada satupun negara di kolong langit yang memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi seperti Indonesia. Hingga saat ini Negeri Nusantara memiliki jumlah penduduk sekitar 269,6 juta jiwa yang berada di 17.504 pulau dan 1340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Secara sosiologis, dengan latar belakang belakang kesukuan serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang mayoritas middle low (menengah kebawah), memberi ruang munculnya berbagai ideologi yang berbasis primordialisme kesukuan maupun keagamaan. Heterogenitas gagasan dan pemikiran itu juga terjadi saat dalam proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 oleh para founding father’s. 

Gagasan single party yang diusung oleh Soekarno ternyata juga mental dengan gagasan sistem multipartai dan sistem parlementer yang diusulkan oleh Muhammad Hatta dan Muhamman Yamin. Sehingga Indonesia sempat menganut sistem parlementer yang diusulkan oleh Hatta dan kawan-kawan. Selama periode 1945-1959 atau selama kurun waktu 14 tahun, pemerintah nyaris tidak sempat menyusun program pembangunan karena terlalu sibuk cakar-cakaran dan berebut kursi kekuasaan. Tak sedikit Perdana Menteri yang dilengserkan secara paksa dengan mosi tak percaya. Bahkan Perdana Menteri Wilopo baru beberapa bulan duduk sudah harus turun dari kursi kekuasaan.

Pemerintah baru mulai stabil pasca dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski sistem multi partai tetap membuat repot. Maklum saat itu kekuatan politik yang dominan adalah politik yang berbasis oleh tiga ideologi besar yang cenderung saling berhadap-hadapan seperti, nasionalis melalui PNI, komunis melalui PKI serta agama melalui Partai Masyumi. Sejarah pertikaian ideologi itu mencapai puncaknya pada peristiwa pemberontakan G 30 S PKI, 1965.

Stabilitas politik relativ terjaga ketika Soeharto naik sebagai presiden ke 2 menggantikan Soekarno. Terjadi perubahan sistem politik yang besar dari multipartai menjadi dwi partai, PDI dan PPP serta 1 Golongan Karya (Golkar).

Smiling General itu mampu menciptakan stabilitas politik sekaligus mengangkat perekonomian nasional, dengan strategi pembangunannya melalui Repelita. Seacara perlahan perekonomian nasional mampu meningkat secara signifikan, bahkan Indonesia disebut-sebut sempat menjadi ‘macan Asia’.

Namun seperti pepatah, ‘tiada gading yang tak retak’, prestasi yang cukup gemilang dengan durasi kekuasaan yang begitu panjang 32 tahun serta model pemerintahan yang tertutup dengan dalih untuk stabilitas justru menciptakan stabilitas yang semu serta korupsi yang tumbuh subur. Maka lahirlah gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa, Mei 1998. Gerakan inilah yang melahirkan semangat reformasi dalam berbagai bidang dengan tiga agenda utama yakni penegakkan supremasi hukum (law enforcement), pemberantasan korupsi serta menurunkan Soeharto.

Semangat reformasi inilah yang mengilhami terjadinya proses amandemen UUD Tetapi terkesan banyak pihak yang ‘kalap dan lupa terhadap sejarah’, hanya karena berbekal kebencian terhadap Orde Baru, semua konsep amandemen yang dibawa adalah antitesa sistem Orde Baru. Salah satu pasal yang krusial adalah perubahan terhadap Pasal 1 Ayat 2 tentang Kedaulatan Rakyat yang semula dilaksanakan oleh MPR kini oleh rakyat langsung melalui Pemilu secara langsung.

Serta pasal 28 tentang kebebasan berpendapat serta kebebasan berorganisasi. Turunan dari pasal ini adalah UU Pemilu serta Undang-Undang Partai Politik. Praktis dengan adanya amandemen itu kita kembali ke sistem multipartai seperti era sebelum Orde Baru bahkan kini jauh liberal. Semua orang, semua golongan dan kelompok bebas dan berhak untuk membuat partai selama bisa memenuhi syarat-syarat administrativ. Setelah resmi menjadi partai mereka berhak ikut kontestasi politik dengan biaya masing-masing yang diestimasi sangat tinggi (high cost politic). Untuk merayu konstituen setiap partai pasti menawarkan platform dan ideologi masing-masing dengan pendekatan primordial berbasis agama maupun kesukuan. Fragmentasi politik itu terbaca jelas dalam Pilkada maupun Pilpres lalu, dengan menguatnya politik identitas.

Maka yang terjadi saat ini seperti sebuah anomali, demokrasi justru memberi ruang terjadinya primordialisme baru. Demokrasi ini justru membuat Indonesia seperti Toko Serba Ada (Toserba) ideologi. Bahkan masyarakat kita mengalami gegar budaya (sochk culture) demokrasi dan kebebasan terbukti banyaknya muncul kerajaan odong-odong. Kondisi inilah yang menempatkan Pancasila di simpang jalan.

Sesungguhnya antara Pancasila dengan UUD 1945 itu sudah satu paket, tidak mungkin Pancasila akan efektif menjadi alat perekat bangsa selama Undang - Undang Dasar yang baru justru memberi ruang kebebasan yang kurang bertanggung jawab. Dan itu terbukti banyaknya anasir-anasir bangsa yang mulai berani menolak Pancasila sebagai falsafah negara. Sebelum NKRI ini pecah berkeping-keping, ada baiknya kita pikirkan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.***
Opini Indonesia Toserba Ideologi
Iklan Utama 5