Presiden Prabowo Dorong Law Enforcement Terhadap Perusahaan Yang Terlibat Aksi Illegal Logging di Sumatera
Presiden Prabowo Subianto saat menemui sejumlah korban banjir bandang dan tanah longsor di Sibolga, Tapteng, Sumatera Utara, baru-baru ini
SIBOLGA, Pro Legal News - Sebanyak 202 konglomerat (perngusaha besar yang memiliki banyak bisnis dan anak perusahaan yang bergerak di berbagai industri diduga melumpuhkan sistem birokrasi untuk menguasai sumber daya alam di Indonesia, guna mendapatkan berbagai bahan baku industri untuk diproduksi. Hasilnya, diekspor dan sebagian dipasarkan di dalam negeri.
Tak heran, para konglomerat itu gampang memiliki berbagai izin usaha dari seluruh kementerian yang ada di Indonesia, karena diduga masih banyak pejabat ‘Nakal’ yang menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri, sehingga mereka mudah memberi Izin usaha tersebut. Hingga kini, para pengusaha besar itu diduga merusak jutaan hektar hutan guna mengalihfungsikan lahan menjadi industri perkayuan.“Rakyat tak berkutik, karena Kementerian Kehutanan memberikan izin usaha dalam pengelolaan hutan.
Sebut saja PT Toba Pulp Lestari (TPL) mengelola ratusan hektar kawasan hutan di 12 kota-kabupaten di Tapanuli Raya, Sumatera Utara.Ini tidak adil, bagaimana mungkin pemilik perusahaan memiliki sejengkal tanah di sini. Ini adalah tanah milik adat masyarakat Batak. Tutup TPL! Itulah seruan masyarakat ke Presiden Prabowo Subianto agar mencabut izin PT TPL, guna mencegah konflik sosial yang lebih besar dan menelan korban jiwa,” kata seorang tokoh masyarakat Batak yang ada di sana.
Artinya, 202 orang inilah yang berkuasa secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan 300 juta orang penduduk Indonesia. Para konglomerat ini memiliki izin usaha dari semua kementerian yang ada di pemerintahan. “Izin tersebut menjadi alat melakukan ‘deforestasi’ menebang hutan atau kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar. Akibatnya, area hutan menjadi tidak berhutan untuk keperluan pemukiman, perkebunan, industri, pertambangan dan lain-lain.
“Para pejabat baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak lagi berperan untuk memihak kepada kepentingan rakyat banyak, karena diduga bersekongkol dengan konglomerat tersebut. Algoritma (intrukksi) tidak sesuai dengan logika (kenyataan). Itu sebabnya, mereka yang memiliki izin sewenang-wenang menggusur tanah adat masyarakat Batak seperti yang terjadi di Toba Pulp Lestari (TPL)—industri pengolahan kayu.
Pemerintah selalu menggaungkan atau mengajak investor untuk menanam modal di Indonesia guna meningkatkan ekonomi masyarakat. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil menyebutkan, negara maju juga melakukan penebangan pohon di Kawasan Hutan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. “Pernyataan seperti inilah yang sangat menyakitkan hati rakyat, karena mereka tidak pernah menikmati hasil penebangan hutan itu, justru kami mengalami musibah banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan bukan saja sanak saudara, juga rumah, harta benda, serta gagal panen,” kata seorang ibu yang menjadi korban tersebut.
“Kami bukan menolak investor atau penanam modal usaha di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Samosir—tapi yang benar-benar bermanfaat untuk kemajuan ekonomi masyarakat Samosir. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang ini, cuma merusak sumber daya alam—seperti kawasan hutan dan air Danau Toba. Perusahaan nakal ini harus ditindak dan dihukum sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia.”
Fenomena apa ini? Menunggu warga mati tertimbun tanah longsor, rumah rusak parah dan lain-lain. Barulah Presiden Prabowo bersama jajaran pemerintah dan negara hadir memberikan bantuan kemanusiaan berupa sembako, perbaikan rumah dst. “Kami hanya mendapat sebungkus indomie dan setengah “takar” beras,” kata seorang korban banjir di Taput. Uruslah negara ini dengan baik yang berpihak kepada kepentingan rakyat—bukan kepentingan para pengusaha besar(taipan atau konglomerat).
Kalau perusakan hutan dilakukan secara terus menerus sama saja pemerintah—negara menciptakan event atau membuat jadwal bencana muncul bergiliran di setiap daerah kota-kabupaten, provinsi di Indonesia, karena tidak ada yang mampu melawan investor asing dan penanam modal dalam negeri yang hampir semua gunung dan hutan dikuasai mereka dengan membangun jaringan sektor-sektor usaha termasuk sektor kelautan, perikanan, danau, sungai, daratan dan udara untuk mendapatkan keuntungan secara komersial tanpa mempedulikan hak rakyat. Ke-202 orang konglomerat itu, antara lain: Sukanto Tanoto mendirikan PT Indorayon Utama Tbk—pada 26 April 1983—2021 "ganti baju” menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), Perusahaan industry kayu berkantor di Uniplaza, East Tower, Lt3, Jl.Letjen Haryono MT A-1, Jakarta sementara pabriknya berlokasi di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Total aset US$ 464,2 juta (2024), Total ekuitas US$ 89,2 juta dan karyawan sebanyak 1.149 orang.
Pada akhir 2025, pemegang saham utama berpindah ke Allied Hill Limited , Hongkong yang juga masih terafiliasi dengan Sukanto Tanoto. Salah seorang direktur di PT TPL adik kandung Sukanto Tanoto. Sejak awal terbilang kontroversial. Perusahaan ini diklaim telah banyak merugikan masyarakat lokal yang “tanah hatubuan” mereka tergusur dengan pabrik PT TPL. “Sutanto Tanoto kini diduga membeli pusat perbelanjaan (Mall Mewah) seharga hampir puluhan triliun rupiah di Singapura—hasil merambah hutan Tapanuli Raya, dan pengusaha besar ini tinggal di Singapura.
Presiden Prabowo Subianto juga pernah mengundang pengusaha besar (konglomerat) ke Istana Merdeka untuk membahas perkembangan ekonomi terkini , sekaligus memperkenalkan Ray Dalio—seorang miliader dan investor kawakan asal Amerika, diantaranya Anthoni Salim (Salim Group), Sugianto Kusuma alias Aguan ( Agung Sedayu Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific), Garibaldi ‘Boy’ Thohir (Alamtri Resources Indonesia), Franky Widjaja (Sinar Mas Group), Tomy Winata (Artha Graha Networ), Dato Sri Tahir (Mayapada Group), James Riady Lippo Group). Selain itu, ada pula Syamsudin Andi Arsyad atau Haji Islam (Jhonlin Group), Chairul Tanjung (CT Group).
Perlu diketahui, pengusaha besar ini selalu berkolaborasi dengan pemerintah dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Faktanya tidak, mereka tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk memperkaya diri dengan sesuka hati membuat harga-harga kebutuhan masyarakat melambung.
Mereka pakai tameng dengan mengeluarkan dana Corporate Social Responcibility (CSR). Dana CSR itu merupakan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan agar jaringan bisnis mereka berjalan aman, tertib dan lancar. Tapi, bagaimana untuk mendapatkan dana CSR itu? Masih sembunyi-sembunyi, tidak ada edukasi ke masyarakat, sehingga masyarakat hanya menerima bantuan itu saja, tanpa tahu asal dananya dari mana.Untuk mendapatkan dana CSR tidak semudah membalikan telapan tangan, sehingga terkesan hanya orang-orang tertentu saja yang diduga mempermaikan dana CSR tersebut.
Karena itu, masyarakat mengharapkan Presiden Prabowo bisa mengajak para pengusaha besar itu untuk bersama-sama mengevaluasi ulang dalam pengelolaan hutan---agar tetap dijaga kelestarian alam. Bila perlu dibubarkan aja itu Kementerian Kehutanan—kalau kerjanya hanya mengeluarkan izin--seperti yang pernah terjadi ketika Presiden Gusdur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, karena memboraskan anggaran.
Bupati Samosir Larang Terima Bantuan dari PT TPL dan Aqua Farm Nusantara (AFN)
Kepala Dinas Kominfo Samosir Immanuel Sitanggang mengakui, Bupati Samosir Vandiko.T Gultom membuat surat edaran yang menghimbau agar semua jajaran Pemerintah Daerah Samosir untuk tidak menerima bantuan dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) perusahaan industri pengolahan kayu dan Aqua Farm Nusantara (AFN) perusahaan perikanan yang beroperasi di Danau Toba, karena diduga berpotensi merusak lingkungan. “Intinya perusahaan atau lembaga apa pun yang kegiatan usaha berpotensi merusak lingkungan jika memberi bantuan dana CSR Tolak!."
Vandiko mengingatkan OPD, Camat dan Kepala Desa untuk tidak menerima bantuan dari Perusahaan yang kegiatan usahanya merusak lingkungan. Semua ini bertujuan untuk menjaga kelestarian alam serta mencegah konflik sosial, karena pemerintah berpihak pada pengusaha yang diduga melakukan perusakan hutan lindung dan kemasyarakatan yang ada di Kenegerian Ambarita, Simanindo.
Vandiko mencantumkan tiga poin yang berisi larangan tersebut yakni; tidak menerbitkan rekomendasi atau dukungan pelaksanaan kegiatan yang berpotensi merusak lingkuangan, dan tidak menerima bantuan dana CSR dari Perusahaan atau Lembaga yang berpotensi merusak lingkungan—termasuk dana CSR dari PT TPL dan PT AFN. Bupati Vandiko juga menerima setiap pengaduan masyarakat tentang kegiatan usaha yang merusak lingungan untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangan.
Masyarakat mendesak Menteri Kehutananan untuk mencabut izin usaha Koperasi Parna Jaya Sejahtera (K-PJS) yang mengelola Kawasan hutan pinus dan hutan kemasyarakatan seluas 688 hektar di Kenegerian Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. “Ini tidak masuk akal, sama saja mereka mau membunuh kami, jika hutan yang ada di atas gunung Ambarita dirusak—pasti mematikan warga akibat tertimbun tanah longsor dari atas gunung tersebut. Banjir bandang dan tanah longsor sudah pernah terjadi di sekitar SMAN 1 Simanindo, Ambarita, juga rumah Sidabutar di di Desa Unjur. Karena itu, kami tetap melakukan perlawanan sampai izinnya dicabut Menteri Kehutanan.
Tidak ada alasan apa pun. Yang jelas, hutan di sini tidak boleh diganggu siapa pun dan kepentingan apa pun, karena tanah Pulau Samosir rawan laongsor secara geografis berbeda dengan tanah-tanah yang ada di Indonesia. Pulau Samosir terbentuk dari Gunung Toba yang meletus puluhan ribu tahun yang lalu. Gunung berapi ini masih aktif. Jika di atas gunung Pulau Samosir dirusak dengan mengambil getah pinus, batu dan pasir---secara lambat laun akan tenggelam karena terjadi pergeseran tanah.
“Kami mohon pemerintah dan masyarakat untuk tidak merusak tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang ada di atas gunung Samosir. Jangan juga membakar dan memperluas lahan untuk pertanian. Carilah tempat usaha yang tidak mengganggu hutan alam yang tumbuh secara alami di Samosir. Justru kita harus giat mendorong masyarakat dan anak anak kita untuk melestarikan alam dengan menanam pohon di atas gunung untuk kehidupan generasi ke generasi,” kata salah seorang tokoh adat di Samosir.
Masyarakat di lima desa Kenegerian Ambarita memiliki solidaritas yang tinggi untuk menyelamatkan hutan kemasyarakatan tersebut. Mereka itu berasal dari Desa Ambarita, Desa Garoga, Desa Sialagan/Pinda Raya, Desa Unjur dan Desa Martoba. Gerakan masyarakat ini, sudah sampai ke Tingkat Kementerian Kehutanan. Semoga Menteri Kehutanan mencabut izin usaha koperasi tersebut guna mencegah konflik sosial yang merugikan kita semua. Informasi A-1 dikutip dari berbagai sumber. Red