logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

HRS And Political Killing Ground

HRS And Political Killing Ground
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Bagi sebagian orang, sosok Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieg Shihab (HRS), mungkin adalah sosok yang ‘nganyelne’ (menjengkelkan), terutama bagi orang-orang yang berseberangan secara politik. Maklum, cara dia mengekspresikan aspirasi bersama kelompoknya dinilai sering radikal dan tanpa unggah-ungguh (tata krama). Tetapi salah treatments dan pengelolaan negara dalam kasus HRS, terutama pasca kepulangannya dari Arab  Saudi, kasus itu bisa menjelma menjadi political trap (jebakan pilitik) sekaligus political killing ground (ladang pembantaian secara politik) bagi banyak pihak.

Meski tetap dalam persepektif negara tidak boleh kalah dari Ormas, tetap diperlukan kejernihan berpikir serta kecerdasan bertindak dalam menyelesaikan kasus ini. Tidak hanya menggunakan pendekatan hukum semata, tetapi penyelesaian secara politik  dan sosial juga sangat penting. Sesuai dengan tesis Jeremy Bentham, jika hukum pada akhirnya harus bertujuan untuk menghadirkan kebahagiaan bersama. Sehingga  persoalan  ini tidak menjadi bola panas yang bisa membakar siapa saja sekaligus menjadi political killing ground (tempat pembunuhan secara politik), terhadap banyak stake houlders.

Seperti diketahui bahwa kepulangan HRS ke tanah air 10 November 2020 lalu banyak membawa ‘oleh-oleh’. Tentengan yang dibawa oleh HRS itu berupa rentetan kasus yang pernah menimpanya. Seperti misalnya kasus chat mesum yang telah mendapat SP3 dari Polri, tetapi masih diragukan oleh berbagai pihak. Pasca kepulangannyapun menimbulkan sejumlah kasus baru yakni acara penyambutannya yang dinilai telah melanggar protokol kesehatan sekaligus UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Bahkan di luar dugaan Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, juga turut hadir dalam acara itu, yang dinilai sebagai sebuah ‘kekonyolan’, karena terindikasi telah melanggar Pasal 4 UU No 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang mengatur tentang tanggung jawab pemerintah pusat/daerah. Tindakan Anis inilah yang tanpa disadari seperti masuk dalam polical trap (perangkap politik). Karena sebelumnya pemerintah pusat yang memiliki perangkat lengkap termasuk data intelejen justru menyatakan bahwa massa yang akan menjemput HRS  tidak akan banyak. Tetapi karena berlandaskan mahhabah (kecintaan) dari para pendukungnya, fakta di lapangan berkata lain.  Sehingga bagi lawan-lawan politik Anis, kehadiran Anies di Petamburan inilah momentum yang pas untuk ‘bebesin’ HRS-Anies yang  sering dianggap sebagai ‘dwi tunggal’.

Karena tindakan Anis inilah pemerintah  seakan ‘murka’ serta banyak pihak yang mendesak agar Anis  diproses secara hukum. Berdasarkan prinsip kesamaan di mata hukum (equality before the law), maka proses hukum itu adalah sebuah keharusan. Apalagi sesuai dengan kaidah bahwa keselamatan masyarakat adalah hukum tertinggi (salus populi supreme lex esto).

Tetapi bila proses  hukum itu didorong secara menggebu nggebu hanya berdasar kebencian justru itu bisa menjadi boomerang tersendiri. Karena kubu sebelah-pun akan mempertanyakan balik, kenapa bila acuannya adalah prinsip keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi yang mengacu pada UU No 16 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan sebagai petunjuk teknisnya, tetapi kenapa pemerintah pusat tetap mengambil keputusan untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020  di 270 daerah yang potensi terjadinya kerumunan massa pasti jauh lebih banyak.

Bahkan hingga saat ini pemerintah juga belum mengambil tindakan dan memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terbukti melanggar selama proses pendaftaran calon di KPUD beberapa waktu lalu. Begitu juga halnya kasus water boom di Medan.  Kondisi seperti ini hanya akan melahirkan tuduhan jika pemerintah telah menerapkan standar ganda (double standart) dalam mengeluarkan kebijakan. Padahal sesuai dengan ketentuan pasal 2 huruf d dan e dalam UU No 16 tahun 2018 tersebut juga telah disebutkan jika penerapan UU tersebut harus menggunakan prinsip keadilan dan nondiskriminatif. Maka sudah seharusnya semua kasus itu diperlakukan sama.

Kalkulasi  secara politikpun juga tidak akan memberikan hasil yang optimal. Misalnya jika Anies-HRS terbukti bersalah, dalam UU no 16 tahun 2018 tentang Karantina belum diatur tentang sanksi pidana serta belum ada yurisprudensi tentang berapa lama sanksi pidana bagi para pihak terutama pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan UU No 16 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Skenario yang paling mungkin adalah menjerat Anies dengan pasal 216 KUHP, tetapi ancaman hukuman pasal inipun terbilang sangat ringat hanya 4 bulan dua minggu dengan denda sembilan ribu rupiah. Maka  secara otomatis hak politik Anies maupun HRS  tidak akan  terbunuh atau dicabut.

Karena sesuai dengan ketentuan Pasal 35 jo Pasal 38 KUHP, hak politik  akan dicabut atau terbunuh apabila menjadi terpidana dengan sanksi hukuman minimal 4 tahun penjara. Maka  proses hukum itu  hanya akan mendeligitimasi pemerintah, karena kubu Anis masih bisa maju dalam kompetisi politik yang akan datang. Bahkan kasus itu akan menjadi kampanye gratis kubu Anis dalam Pilpres yang akan datang. Pemerintah bersama partai-partai pendukungnya  pasti akan menuai tuduhan telah menjalankan otoriterisme baru.  Artinya politik ‘bumi hangus’ itu dapat dipastikan hanya akan merugikan semua pihak.

Yang tak kalah penting untuk dicermati dibalik kasus HRS ini ada posisi geopolitik Indonesia saat ini. Pemerintahan Jokowi telah berada dalam track yang benar dalam menterjemahkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Sikap Indonesia dalam kasus Palestina serta menghadapi sikap China yang kemlinthi (baca : arogan) dalam krisis di Laut China Selatan, bahkan dalam mengahadapi arogansi Pam Sam (Amerika) sudah sangat jelas. Termasuk keberanian pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosisai dengan  Mc Moran Coopers dan Golden Inc terkait PT Freeport.

Sikap kekeuh Indonesia  yang ogah bersekutu dengan blok manapun kelompok di satu sisi membuat Indonesia bisa berdaulat penuh, tetapi disisi lain justru memancing negara-negara asing yang tidak mau Indonesisa stabil untuk bertindak jahil. Dan cara yang paling efektif adalah memainkan isu-isu  ideologi dan SARA. Sejarah telah mengajari kita untuk waspada seperti halnya isu komunisme yang telah dimainkan oleh CIA melalui tangan Dubes Inggris untuk Indonesia, Gillchrist untuk mengadu domba bangsa ini. Maka bukan tidak mungkin kekuatan asing itu akan menggunakan isu HRS ini untuk mengaduk-ngaduk situasi dengan membenturkan sesama anak bangsa. Kita sering mengecam Arab Springs, tetapi bila kita salah melangkah dalam kasus HRS, justru kita akan terpapar penyakit Arab Springs.  

Apalagi saat ini HRS telah menjelma menjadi simbol perlawanan bagi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Faktanya kelompok-kelompok itu mulai merapatkan barisan. Dan mereka tetaplah anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya. Terbelahnya masyarakat menjadi dua kubu itu adalah konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang telah kita pilih dan anut. Tidak ada satu kelompokpun yang berhak mengklaim sebagai pemilik tunggal republik ini.

Berdasarkan hitung-hitungan seperti itu, maka diperlukan langkah-langkah yang smart and smooth dalam mengelola kasus HRS. Cara yang smart itu adalah melakukan proses hukum yang dilakukan oleh dan terhadap HRS baik yang sudah berlalu atau belum. Misalnya  dengan membuka kembali SP3 kasus chat itu, bila prosesnya clear pemerintah atau polisi harus mengumumkan dan merehabilitasi nama HRS, agar tidak menimbulkan fitnah yang berkepanjangan.    Begitu juga terhadap orang-orang yang pernah dilaporkan oleh kubu HRS juga harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sebaliknya semua kasus hukum atau tindak pidana yang pernah dilakukan oleh HRS maupun pendukungnya juga harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Biarkan polisi bertindak secara proporsional dan profesional sesuai dengan ketentuan KUHAP dan KUHP.Pusat kekuasaan tidak perlu melakukan intervensi. Apabila aparat penegak hukum telah bertindak secara equal sesuai dengan asas persamaan di depan hukum, maka tidak akan ada lagi rumor dan spekulasi yang berkembang jika proses hukumnya berbau politis.

Upaya selanjutnya  yang smooth adalah, semua elemen bangsa melakukan ishlah (rekonsiliasi), sehinggga tidak ada ganjalan politis dan psikologis. Rekonsiliasi tanpa melalui proses hukum tidak akan pernah memenuhi rasa keadilan, kalaupun toh ishlah itu pasti hanya bersfat basa-basi semata. Jadi kesanggupan Wapres Ma,ruf Amin untuk ketemu HRS itu sementara ini menurut saya mubazir, kecuali bila semua tahapan itu telah dilalui.

Selanjutnya, siapapun yang ingin ber amar ma’ruf nahi munkar (melakukan kontrol sosial) haruslah dilakukan dengan cara-cara yang santun dan bermartabat. Islam diterima di Nusantara itu karena para wali yang tergabung dalam Wali Songo melakukan dakwah melalui proses akulturisasi budaya dengan cara yang sangat santun sesuai dengan budaya lokal. Sehingga Islam bisa dikenali sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Bukankah kita telah mendapat i’tibar (pelajaran) dari pemimpin yang tidak bisa menjaga mulutnya, salah satunya Donald Trump yang akhirnya tumbang, tetapi santun tidak juga berarti munafik, mauliate.***
Opini HRS And Political Killing Ground
Iklan Utama 5