a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Azas Praduga tidak Bersalah

Azas Praduga tidak Bersalah
Ilustrasi


Pro Legal News - Pada hari Senin (24/11/2025), seorang perempuan bernama Anita Dewi tanpa sengaja ketinggalan tas kecil di gerbong khusus perempuan KRL jurusan Tanahabang-Rangkasbitung. Ia menyadari hal itu setelah turun di Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan.

Anita kemudian meminta bantuan petugas KRL melacak keberadaan barangnya dan akhirnya tas itu ditemukan petugas (Satpam) KRL di Stasiun Rangkasbitung. Petugas mengirimkan bukti foto tas tersebut. Sewaktu Anita dan suaminya mengambil barang itu di Rangkasbitung keesokan harinya, tumbler yang ada dalam tas itu sudah tidak ada.

Pegawai KCI di Rangkasbitung mengatakan dirinya tidak memeriksa isi tas saat serah terima dari petugas keamanan. Anita minta PT KCI membuka rekaman CCTV supaya bisa mengetahui siapa yang mengambilnya.

Guna mengakses CCTV diperlukan prosedur panjang. Pegawai KRL bernama Argi menawarkan solusi sementara, ia membeli tumbler baru yang sama melalui onlen dan menunjukkan bukti pembayaran. Niat baik itu ditolak Anita dan suaminya, mereka menegaskan bahwa permasalahan itu harus diselesaikan sesuai prosedur dan bukan sekadar diganti barangnya.

Argi yang baru bekerja sekitar 10 hari sebelumnya, diproses secara internal oleh PT KCI selaku pengelola KRL. Anita dan suaminya, bersikukuh minta agar Argi yang mulai bekerja pada 13 November 2025 dipecat.

Sejumlah warganet membela Argi, menyatakan kelalaian penumpang kok harus mengakibatkan Argi dipecat. Direktur Utama PT KAI Bobby Rasyidin, kemudian melalui Instagram menegaskan bahwa Argi tidak dipecat dan tetap menjadi karyawan KAI.
Setelah heboh di media sosial, Anita dan suaminya mengunggah video permohonan maaf media sosial. “Kami meminta permohonan maaf yang sebesar-besarnya khususnya kepada saudara Argi dan semua pihak terkait yang terkena dampak dan dirugikan atas ucapan dan perbuatan kami berdua,” ujar pasangan suami istri itu.

Mereka mengakui bahwa respons mereka tidak bijak dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Meski KAI membantah kabar pemecatan Argi, perusahaan pialang asuransi Daidan Utama tempat Anita bekerja mengumumkan bahwa per 27 November 2025, Anita tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut.

Media massa dan media sosial

Kejadian selama tiga-empat hari itu memberi contoh tentang bedanya media massa dengan media sosial. Di media sosial, siapa pun bisa menjadi ‘wartawan’ atau pembentuk opini publik. Media sosial memungkinkan setiap orang melaporkan apa saja, kapan saja, sekehendak hatinya.

Sementara di media massa, laporan hanya disampaikan oleh wartawan dan pembentukan opini hanya dilakukan oleh penulis artikel. Dulu, menjadi wartawan harus melalui seleksi yang sangat ketat. “Dulu seorang wartawan, harus betul-betul mematuhi etika jurnalistik,” ujar Dr Ir Albert Kuhon MS SH, wartawan senior yang kini merangkap sebagai advokat, ”Sekarang banyak aturan dan etika kewartawanan yang longgar.”

Salah satu yang utama, media massa dan wartawan atau jurnalis tetap harus mengutamakan azas praduga tidak bersalah dalam pemberitaannya. Terutama dalam pemberitaan masalah hukum seperti kasus-kasus kejahatan atau kriminal dan kasus-kasus korupsi atau suap.

Selain itu, pemberitaan media massa juga harus mencerminkan kenetralan atau independensi, cover both side serta keberimbangan. Seorang wartawan, harus memenuhi persyaratan teknis berupa keterampilan memproyeksi, mencari, mengolah, memproduksi dan menyajikan informasi kepada publik; serta memenuhi persyaratan profesional seperti penguasaan hukum perundang-undangan dan materi lain sesuai dengan bidang liputannya.

Tokoh pers

Media massa harus menjaga kenetralan atau independensi, cover both side serta keberimbangan. Sementara media sosial tidak punya keharusan sedemikian ketat. Demikian rangkuman percakapan dengan sejumlah tokoh pers Indonesia seperti Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Henry Bangun, mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka Karim Paputungan, dan wartawan senior Dr Ir Albert Kuhon MS SH yang belakangan dikenal juga sebagai advokat.

Mereka dimintai pendapatnya pekan silam sehubungan maraknya pemberitaan media massa, baik media cetak, media elektronik maupun media digital, yang cenderung menyudutkan pihak-pihak yang menjadi objek pemberitaan. Termasuk pemberitaan kasus-kasus kriminal dan korupsi, yang umumnya bersumber hanya dari dari pihak penyidik.
Kebetulan beberapa hari terakhir ini terjadi kehebohan di kalangan media sosial sehubungan tas milik Anita Dewi yang tertinggal di KRL. Tentu saja isi percakapan dengan para tokoh pers itu tidak berkaitan langsung dengan pergunjingan di media sosial tentang hilangnya barang dalam tas Anita.

Praduga Bersalah

Karim Paputungan, mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka dekade 1990-an, mengingatkan bahwa informasi atau keterangan yang bersumber dari pihak penyidik atau penuntut umum, pasti berisi praduga bersalah. “Sedang keterangan atau informasi dari penasihat hukum tersangka atau terdakwa, tentu berisi praduga tidak bersalah,” ujar Paputungan.

Banyak sekali contoh pemberitaan media yang menyudutkan objek pemberitaan, tanpa memberi kesempatan pembelaan diri kepada pihak yang diberitakan. Umumnya berita-berita tersebut hanya berdasarkan pengumuman atau keterangan pihak penyidik. Misalnya pemberitaan tentang kasus-kasus korupsi dan suap yang menyangkut mantan Direktur Jenderal Pajak, pimpinan Bank BNI, pemilik pabrik tekstil PT Sritex, mantan Menteri Perdagangan, mantan Menteri Pendidikan Dasar dan lain-lain.

Tidak mungkin pengumuman atau keterangan pihak kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berisi praduga tidak bersalah. “Tugas mereka memang membongkar dan membuktikan keterlibatan pelaku kejahatan,” kata Paputungan lagi.
Karenanya, wartawan peliput kasus-kasus kriminal dan korupsi seharusnya tidak hanya melaporkan informasi yang berasal dari pihak kepolisian, kejaksaan maupun KPK.
Semestinya wartawan atau media massa menyandingkan informasi dari lembaga-lembaga itu dengan keterangan pihak tersangka, terdakwa atau penasihat hukumnya.

Keterbatasan waktu, memang sering membuat wartawan atau media massa hanya menyajikan keterangan pihak penyidik atau penuntut umum. Akibatnya berita yang dipublikasikan atau disiarkan hanya berisi dugaan kejahatan saja, tanpa pembelaan diri dari orang-orang yang disebut-sebut sebagai pelaku kejahatan.

Kesempatan pertama

Mungkin saja karena keterbatasan waktu, media massa sering hanya menyiarkan atau mempublikasikan berita tentang dugaan kejahatan yang dilakukan para tersangka. Pemberitaan demikian, pasti sangat merugikan pihak tersangka.

alt text Ir. Dr. Albert Kuhon MS, S.H.

“Tetapi pada kesempatan pertama setelah berita negatif itu disajikan kepada publik, wartawan atau media massa harus meminta tanggapan dari pihak tersangka pelaku kejahatan atau penasihat hukumnya, lalu mempublikasikan dan menyiarkannya” kata Albert Kuhon yang pernah aktif di media cetak seperti Harian Kompas, Harian Suara Pembaruan dan media elektronik Liputan 6 SCTV.

Katanya, alasan keterbatasan waktu tidak boleh menjadikan wartawan atau media massa menjadi pelanggar etika pemberitaan. “Banyak wartawan dan media massa yang terang-terangan melanggar kode etik wartawan Indonesia dan kaidah-kaidah pemberitaan yang menyangkut azas keberimbangan dan cover both side,” kata Kuhon yang pernah juga menjadi dosen jurnalistik di beberapa universitas swasta.

Semasa menjadi wartawan, Kuhon sering aktif meliput kasus-kasus hukum. Menurutnya, para wartawan hukum di dekade 1980-1990an harus mengenal juga kode etik atau panduan pemberitaan masalah hukum selain kode etik kewartawanan. “Di antaranya, wartawan hukum tidak boleh membeberkan jatidiri tersangka atau tertuduh pelaku kejahatan sebelum dinyatakan bersalah ol;eh pengadilan,” ujar Kuhon yang kini aktif menjadi advokat.

Disrupsi Digital

alt text Totok Suryanto (Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto mengungkapkan, disrupsi digital memudahkan banyak pihak mendadak menjadi wartawan dan bahkan menjadi pengelola media onlen. “Sekarang ini banyak orang dengan mudah memberitakan segala macam informasi kepada publik tanpa merasa perlu mengenal kode etik wartawan,” ujar wartawan kawakan di pemberitaan televisi tersebut.

Menurut Totok, seorang wartawan harus memenuhi dua persyaratan utama sebelum memulai tugas jurnalistiknya. Syarat keteknisan, mengharuskan seorang wartawan memiliki keterampilan memproyeksi, mencari, mengolah dan menyajikan berita. Selain itu, seorang wartawan profesional harus mengerti hukum dan mampu menerapkan hukum dalam pencarian, pengolahan maupun penyajian berita-berita bidang hukum.

Sekarang orang dengan gampang sekali melakukan pelanggaran etika. Padahal dalam kehidupan zaman Majapahit dan Yunani Kuno, etika atau adab merupakan hal utama dan bahkan pelanggar etika bisa dijatuhi hukuman. “Sekarang banyak orang yang tidak kenal etika, yermasuk etika jurnalistik, sehingga merdeka seenaknya melanggar etika,” kata Totok.

Pengaduan Meningkat

Totok mengungkapkan, sepanjang tahun 2024 tercatat ada 774 kasus pengaduan pelanggaran kode etik jurnalistik yang diterima pihak Dewan Pers. Tahun 2025, dari Januari sampai Oktober tercatat 1.080 kasus dan masih meningkat. “Setiap hari saya menerima dan harus membaca belasan pengaduan. Saya yang baca duluan sebelum diteruskan kepada Ketua Dewan Pers,” kata Totok Suryanto.

Ia menilai belakangan ini mutu kewartawan di kalangan media massa di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Katanya dari 5.129 media massa yang terdaftar di Dewan Pers, sampai menjelang akhir 2025 ini yang sudah terverifikasi tak sampai separuhnya. “Celakanya, media massa yang sudah diverifikasi pun banyak yang melanggar etika jurnalistik,” ujar Totok pula.

Menurut Totok, jika 11 poin kode etik wartawan Indonesia diterapkan secara benar maka bisa dipastikan semua pihak akan merasa nyaman. Seharusnya setiap wartawan terlebih dulu menguji dan mengklarifikasi informasi dan fakta yang diterima, baru kemudian mengolah dan menyajikan kepada publik. “Sekarang ini sangat banyak media abal-abal, yakni media yang mengabaikan kode etik. Walaupun sudah diverifikasi, suatu media bisa saja digolongkan abal-abal jika tidak menerapkan kode etik wartawan Indonesia,” kata Totok tegas.

Kebijakan Media

Mantan Ketua PWI Pusat Henry Bangun menambahkan, sejauh ini kode etik wartawan Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai pencantuman nama lengkap atau inisial tersangka atau tertuduh pelaku kejahatan. Ada media yang menggunakan inisial dan tidak memajang foto tersangka atau terdakwa.

Ada juga media yang menuliskan nama lengkap dan mempublikasikan foto tersangka atau terdakwa. “Sepenuhnya menjadi kebijakan atau kewenangan redaksi media yang bersangkutan,” ujar mantan wartawan Kompas dan pimpinan Harian Warta Kota tersebut.

Menurut Bangun, kaidah yang penting dan harus dipegang teguh oleh wartawan dan media massa adalah azas praduga tidak bersalah. Koran atau media onlen harus menyebutkan secara tegas bahwa objek yang diberitakan adalah terperiksa jika statusnya masih sebagai orang yang diperiksa.

“Menyebutkan objek yang diberitakan sebagai tersangka, jika statusnya masih tersangka. Tidak boleh ditegaskan sebagai pelaku kejahatan, kecuali tertangkap tangan waktu melakukan kejahatan,” ujar Bangun.
Menurut mantan Ketua PWI Pusat itu, seseorang bisa saja diperiksa polisi, kejaksaan atau KPK sebagai saksi. Atau bisa juga diperiksa dalam rangka pengumpulan bahan keterangan.

“Wartawan atau media massa tidak boleh mempublikasikan orang yang diperiksa dalam rangka pengumpulan bahan keterangan, seolah-olah dia sudah pasti sebagai pelaku kejahatan,” ujar Bangun lebih jauh.

Dalam pemberitaan media massa, wartawan harus mematuhi azas praduga tidak bersalah. Sedang dalam unggahan di media sosial, warganet boleh mengemukakan apa pun yang dia ingin kemukakan. Penghakiman dilakukan oleh para pembacanya. ***
Opini Azas Praduga tidak Bersalah