logo
Tentang KamiKontak Kami

Pemimpin Yang Membawa Perubahan

Pemimpin Yang Membawa Perubahan
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pencoblosan sebagai tahapan dari prosesi Pemilu telah kita laksanakan. Hingga saat ini pemimpin yang defifinitif belum kita peroleh, karena masih dalam proses rekapitulasi yang menyisakan banyak persoalan. Siapapun yang akan menang, kita perlu refleksi sejenak tentang pemimpin yang ideal yang akan membawa pencerahan sekaligus mensejahterakan sekitar 250 juta jiwa Bangsa Indonesia. Pemimpin yang bisa mengajak rakyatnya ‘hijrah’ ke kondisi yang lebih baik.

Michael E Hart, dalam bukunya ‘100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Di Dunia’ telah menempatkan Nabi Muhammad SAW dalam posisi pertama sebagai pemimpin yang paling ideal dan berhasil. Memang terkesan kurang fair bila kita membandingkan antara seorang Nabi yang berbekal legitimasi berupa wahyu Illahi  dengan seorang pemimpin negara produk demokrasi yang telah ‘membeli’ legitimasi dengan berbagai propaganda/kampanye yang dimodali oleh ‘cukong cukong politik’ di belakangnya. Sehingga tidak aple to aple, tetapi kita harus kembali kepada niatan awal jika tulisan ini hanya sekedar refleksi.

Dalam tesisnya, Michael menyatakan jika salah satu parameter keberhasilan Muhammad adalah melakukan ‘revolusi mental’ dengan konsep hijrah dari jaman Jahililyah menuju masyarakat madaniah (civil society). Hal itu sesuai dengan firman Tuhan dalam QS Al Hadid, (9) yang menyatakan jika Al Qur’an itu diturunkan untuk menerangi dunia dari kegelapan. Dan Islam yang dibawah oleh Muhammad terbukti sebagai agama dengan sistem yang sangat lengkap, mulai dari sistem nilai, sistem hukum, sistem ekonomi hingga sistem sosial dan filasafat. Sehingga orientalis, Cristian Snouck Hourganje dan Rene David telah mendiskripsikan jika Islam is religion of law in the  full meaning of the world.

Dengan standar moralitas yang tinggi berbekal ketaatan (sami’na waato’na/rule of law) Muhammad terbukti menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana sekaligus tegas. Pemimpin yang mengikuti aturan main (order by law) dan bukan (law by order) untuk mengakomodir kepentingan orang-orang di sekitarnya yang telah mengeluarkan modal untuk membeli legitimasi politik.

Karena gaya kepemipinannya itulah Muhmmad diberi gelar, Shidiq (jujur), Ammanah (bisa dipercaya) serta Fathonnah (cerdas). Jujur dalam semua aspek terutama tentang masa lalunya dan perjuangannya. Bisa dipercaya adalah tentang niatan yang tulus atas semua tindakannya, dan bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok. Sementara cerdas tentang kemampunnya untuk melihat realitas sosial. Sense of crisis ini penting, karena ada kecenderungan banyak pemimpin yang narsis, pemimpin  yang merasa berhasil padahal rakyatnya  banyak yang menjerit, karena perekonomian yang sulit. Tapi kemana-mana mengklaim berhasil.

Deretan nama tokoh itu juga terselip nama Meng Tse, filsuf Tiongkok yang lahir pada tahun 250 SM. Pembawa ajaran Ming (watak sejati) ini  kerap disebut dengan nama Second Sage (orang bijak kedua), karena memang dia dikenal sebagai penerus dari Mangzhi, pembawa ajaran Kong Hu Cu. Dalam bukunya Book of Mancius, Meng Tse memaparkan tentang konsep kepemipinan yang menarik, yang berhulu dari ajaran Ming (watak sejati).

Mancius mendiskripsikan jika seorang pemimpin itu wajib mensejahterakan rakyatnya. Bahkan Mancius mengilustrasikan konsep kepemimpinan dengan ungkapan yang sangat terkenal, “Tuhan mendengar seperti apa yang rakyat dengar dan Tuhan melihat seperti yang rakyat lihat”, dalam konteks Negara demokrasi, konsep  yang menganggap jika suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei) ini seharusnya bisa teraktualisasi dengan baik.

Setiap pemimpin harus peka terhadap kondisi rakyatnya, pemimpin harus mendengar dan melihat realitas sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakatnya. Sekaligus menemukan sintesa dari fenomena itu untuk segera mengambil kebijakan untuk memperbaiki keadaan. Kecenderungan yang sekarang justru sebaliknya, pemimpin ‘memaksa’ rakyat untuk melihat apa yang telah dilakukannya dengan berharap masyarakat akan memberikan apresiasi jika dia adalah pemimpin yang telah berhasil.

Padahal secara empiris terbukti jika rakyatnya tidak merasakan langsung pembangunan itu, tetapi mereka harus menanggung beban kenaikan berbagai komoditas dan tarif sebagai ongkos tambahan untuk membiayai pembangunan itu. Rakyat hanya bisa menonton dan ‘dipaksa’ untuk memberi apresisai terhadap pemimpin yang narsis itu.*** 
Opini Pemimpin Yang Membawa Perubahan