logo
Tentang KamiKontak Kami

Pancasila Yang Terancam

Pancasila Yang Terancam
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dasar negara Indonesia, Pancasila adalah intisari peradaban Bangsa Nusantara. Karena dasar negara ini lahir dari proses dialektif kebudayaan yang panjang mulai dari munculnya kerajaan Salakanegara pada abad ke 2, hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Frase-frase serta sila-sila dalam Pancasila muncul dari perdebatan para founding fathers, dengan argumentasi yang berbasis dari keyakinan yang majemuk. Salah satu buktinya, sempat muncul Piagam Jakarta.

Tetapi secara umum ada dua blok pemikiran antara Soekarno dan Soepomo serta Moh Hatta dan Muh Yamin di sisi lain. Soekarno yang memang gandrung kesatuan  dan persatuan karena dipengaruhi oleh gagasan kebangsaan, Otto Bauer, Otto Bauman, Karl Radeks, Karl Kaustky, Hegel, Spinoza hingga Mazzini serta nilai-nilai lokal seperti  konsep, manunggaling kawula dan gusti (bersatunya masyarakat jelata dengan penguasa atau manusia dengan Tuhan) ingin mensublimasikan nilai-nilai itu dalam setiap sila yang ada dalam Pancasila. Sebaliknya Moh Hatta serta Yamin yang sempat mengenyam pendidikan di Belanda ingin memberikan porsi dan proteksi yang lebih terhadap hak-hak setiap individu. Maka hasilnya adalah Pancasila yang lahir pada 1 Juni 1945.

Sejak saat itulah Bangsa Indonesia memiliki ideologi perekat bangsa, yang mampu menjaga kohesivitas bangsa yang terdiri dari sekitar 300 etnik, 1340 suku dan 742 bahasa (berdasarkan data BPS tahun 2010)  yang tersebar di  sekitar 17.504 pulau. Pancasila merupakan sistem nilai yang menjadi standar moralitas bangsa. Efektifitas Pancasila dalam menjaga persatuan bangsa telah diakui dunia. Bahkan seorang Sri Paus Yohanes Paulus 2  dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 1989 sempat memberikan apresiasi terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia yang berhulu dari semangat persatuan Indonesia yang ada dalam sila ke 3 Pancasila.

Tetapi sesuai dengan premis dari Filsuf Yunani, Heraklitos, pantha rei kai ude menei (semuanya itu mengalir dan tidak ada yang tetap), dalam sosial, politik dan budaya juga bersifat dinamis. Pasca proses reformasi tahun 1998 terjadi perubahan pendulum politik yang drastis. Semua dimensi terjadi perubahan dan berlaku antitesa termasuk sistem politik dari tiga partai dan menjadi multi partai.

Sistem ini ternyata memunculkan dilema tersendiri, di satu sisi itu merupakan implementasi atas jaminan hak-hak individu sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan mengungkapan pendapat dan berserikat yang merupakan sine qua non (syarat utama) demokrasi. Namun di sisi lain sistem ini menciptakan kegaduhan politik yang luar biasa, bahkan membuat setiap pemimpin ‘tersandera’ oleh sistem, karena harus menebar konsesi dalam membangun koalisi untuk membentuk pemerintahan. Dan tabiat buruk partai di Indonesia, membangun koalisi bukan atas dasar kesamaan platform seperti tesis Huang Wa, tetapi hanya atas dasar kepentingan pragmatis  politik dagang sapi (trading horse).

Ionisnya sejak perubahan sistem politik muncul banyak partai yang berbasis aliran. Untuk menggaet konstituen banyak partai menggunakan isu-isu primordial dan sektarian, yang akhirnya menimbulkan reaksi dan resistensi dari kelompok lain. Dalam kontestasi politikpun para kontestan cenderung menggunakan segala cara. Bila zaman Soeharto ada istilah yang berasal dari foklor Jawa yang sangat terkenal, ngalahake tanpo ngasorake (mengalahkan tanpa mempermalukan), kini justru berlaku sebaliknya ngasorake kanggo ngalahake (mempermalukan untuk mengalahkan). Indikasinya adalah penggunaan hoaks (berita bohong) sebagai alat untuk melakukan black campaign (kampanye hitam) untuk mendiskreditkan lawan.

Secara kosmos, kondisi ini memperlihatkan jika Bangsa Indonesia telah tercabut dari akar budayanya. Bangsa Indonesia dikenal memiliki budaya adi luhung yang toleran dan memiliki sopan santun yang tinggi. Penggunaan hoaks itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kolektif yang telah diyakini. Bahkan dalam persepektif nilai agama, penggunaan hoaks (fitnah) itu lebih kejam dari pembunuhan, walfitnathu akbaru/assadhu minal qatl (QS. Albaqoroh 191). Ironisnya, banyak politisi yang menjadi mesin politik itu justru adalah para tokoh yang berlatar belakang pemahaman agama yang cukup.

Realitas sosial itulah yang menjadi parameter jika saat ini Pancasila dalam kondisi yang terancam. Bila tidak segera ada upaya reorientasi semua elemen bangsa. Pancasila akan sekedar menjadi sebait kalimat yang tanpa makna. Karena semua elemen bangsa mengklaim sebagai sosok yang Pancasialis, tetapi tidak bisa menjiwai sekaligus menjalankan Pancasila. Bisa menghafalkan tanpa bisa mengamalkan, apalagi seperti tesis Andre Ernst Gellner, nasionalisme itu adalah gagasan yang imaginer, jadi setiap individu tak mudah faham bagaimana cara mewujudkannya. ***
Opini Pancasila Yang Terancam