logo
Tentang KamiKontak Kami

Kembali Ke Sistem Tiga Partai

Kembali Ke Sistem Tiga Partai
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pemilu dengan sistem multi partai yang sangat liberal dan dilaksanakan secara serentak antara Pileg dan Pilpres menimbulkan kompleksitas persoalan yang luar biasa. Social cost yang harus ditanggung republik ini sangat besar dan berat. Masyarakat terfragmentasi dalam berbagai kelompok yang saling berhadapan secara ideologi. Luka batin dan dendam politik, hingga saat ini belum ada tanda-tanda mereda. Bila tidak segera dilakukan islah/rekonsiliasi, bukan tidak mungkin jurang perpecahan itu akan semakin menganga lebar. 

Dari aspek teknis penyelenggaraan juga sangat rumit dan kompleks, sehingga sangat menguras energi. Hingga 4 Mei 2019 tercatat setidaknya 554 korban jiwa yang terdiri dari petugas KPPS, Bawaslu serta aparat Kepolisian  yang meninggal dunia. Meski Cause of Death (COD), penyebab kematian para petugas itu beragam, tetapi triggernya sama yakni kelelahan selama menjalani tugas mengawasi pencoblosan serta penghitungan suara.

Maklum, dengan Pemilu serentak itu ada lima lembar suara yang harus direkap, sementara jumlah nama Caleg yang harus diperiksa dan dihitung mencapai puluhan, sehingga membutuhkan presisi dan akurasi yang sangat menguras energi. Apalagi dengan situasi di bawah tekanan secara psikologis karena adanya dugaan kecurangan.

Maka bila konsideran dilaksanakannya Pileg dan Pilpres itu  untuk menghemat biaya, hasilnya justru sebaliknya. Inilah Pemilu yang paling menyeramkan sepanjang sejarah republik ini. Tak perlu tunjuk hidung, siapa yang salah dalam pelaksanaan Pemilu ini, tetapi inilah momentum kita untuk melakukan evaluasi apakah cara dan sistem Pemilu ini masih layak untuk dipertahankan.

Sebagai catatan, bila kita menggunakan sistem Pemilu yang liberal seperti Amerika sebagai role models, mereka hanya menggunakan dua partai yakni Partai Demokrat dan Republik, sehingga mekanisme penghitungan suara relative lebih mudah dan tidak menguras tenaga. Dengan konsideran seperti itu tidak ada salahnya bila kita kembali menggunakan sistem dua atau tiga partai seperti ketika Orde Baru. Dengan catatan, parlemen ‘saklek’ menjalankan tugasnya sebagai wacth dog (lembaga sosial kontrol), dan bukan stempel pusat kekuasaan. Dengan sistem ini stabilitas politik relative terjaga.

Menurut Scot Mainwaring untuk sistem pemerintahan presidensiil seperti yang kita miliki ini sangat tidak cocok bila menggunakan sistem multi partai. Karena perilaku partai yang pragmatis, terutama partai-partai tengah akan selalu ‘ngribeti’ pemerintah. Maka harapan terciptanya pemerintah yang kuat serta stabil, ala Shang Yang maupun Spinoza tidak akan terwujud. Kosentrasi pemerintah akan selalu terpecah antara menyelamatkan pemerintahan dengan mewujudkan program pembangunan untuk rakyat.

Ukhuwah Islamiyah Akan Terjaga

Apabila menggunakan sistem dua partai atau tiga partai dengan salah satunya adalah partai agama, maka sistem akan bisa ‘memaksa’ umat Islam menjaga ukhuwah Islamiyah melalui fusi dari berbagai Ormas Islam dan akan menjelma menjadi partai yang besar. Sebagai catatan, dalam Pileg 2014 lalu lima partai berbasis agama/Islam yakni PKB,PKS, PP, PAN dan PPP memperoleh suara 31,2%. Selama Orde Baru, PPP yang merupakan fusi beberapa Ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah, Perti dan Persis juga bisa mendulang suara yang cukup signifikan.    Dalam Pemilu 1955, Partai Masyumi yang merupakan hasil fusi beberapa Ormas Islam setidaknya memperoleh suara hingga, 20,9%.

Keuntungan dengan adanya partai agama, maka aspirasi Umat Islam sebagai mayoritas akan selalu tersalurkan, namun pemerintah  juga tidak akan ‘puyeng’ karena setiap isu  sebelum menjadi usulan fraksi akan melalui proses internalisasi dalam tubuh partai. Apabila telah tercapai konsesnsus antara semua faksi dalam tubuh partai, baru menjadi usulan fraksi. Kondisi ini berbeda dengan saat ini, semua aliran (faksi) jalan sendiri-sendiri  melalui  fraksi dan partai masing-masing. Meski tak jarang antara partai Islam itu saling berhadapan.

Seperti misalnya isu Khilafah yang sempat antara partai Islam saling berhadap-hadapan. Dan kondisi jelas sangat menguras energi bangsa. Hal itu tidak akan terjadi bila isu itu menjadi urusan internal partai, kecuali bila sudah menjadi usulan fraksi. Mereka akan membahas setiap persoalan tersebut dengan semangat persaudaraan, karena Al Qur’an  diantaranya dalam QS Hujurat 10, QS Hijr 45-47, telah menjelaskan bahwa setiap umat Islam itu adalah saudara dan wajib menjaga ukhuwah Islamiyah dan menjalankan musyawarah untuk mufakat. ***
Opini Kembali Ke Sistem Tiga Partai