logo
Tentang KamiKontak Kami

Ada Apa Di KPK

Ada Apa Di KPK
Oleh : Houtlan Napitulu SH.MM.MH

Beberapa waktu lalu berbagai media menyoroti tindakan penyidik KPK, yang diduga melakukan pemerasan terhadap walikota Tanjungbalai, agar penyidikan kasus dapat dihentikan. Hal ini menambah kemelut di KPK setelah beberapa kasus yang akhir-akhir ini menerpa KPK, seperti kasus SP3 oleh KPK, dan pencurian barang bukti berupa emas. Hal itu membuat kredibilitas lembaga anti rasuah ini berkurang dalam pandangan masyarakat.

Para intelektual hukum tertarik untuk melihat apa yang salah sekarang ini di tubuh KPK. Sehingga mempertanyakan apa ada kaitan dan relevansi perobahan UU KPK terhadap kemelut yang dihadapi KPK sekarang ini, khususnya tentang ijin penyidikan dan penyadapan dari Dewas KPK, yang dianggap melalui proses permintaan ijin pada Dewas KPK dapat memberikan peluang bagi penyidik yang nakal bekerja sama dengan terlapor untuk menghilangkan alat bukti.

Sehingga membuat tindakan penggeledahan gagal dengan alasan adanya kebocoran informasi. Belum lagi menerbitkan SP3 hanya karena alasan formalistis pasal 11 ayat (1) huruf c UU No.19 tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, menjadikannya sebagai alasan pembenaran untuk menerbitkan SP3 pada perkara Samsul Nursalim pemegang saham BDNI sebagai penerima BLBI.

Dengan alasan setelah diputusnya bebas oleh MA, penyelenggara negara yaitu Mantan Kepala BPPN, dianggap tidak lagi layak perkara SN sebagai pemegang saham BDNI sebagai bank yang menikmati bantuan likuiditas bank, untuk diteruskan penyidikannya, karena tidak ada lagi penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus tersebut. Semestinya berpatokan pada kerugian negara, jika sudah ada alat bukti yang cukup tentang kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan siapapun meskipun hanya oleh orang swasta, perkara masih layak di tindak lanjuti belum lagi jika dilihat dengan kerugian negara yang ditimbulkan tersangka hampir mancapai tiga puluh triliun rupiah, paling tidak kordinasi dengan Kejaksaan agar Kejaksaan Agung mengambil alih kasus korupsi yang tidak lagi disidik oleh KPK tersebut.

Sehingga wajar jika ada pakar hukum pidana yang meminta agar pertanggungjawaban pemerasan ini tidak terhenti hanya pada oknum penyidik KPK yang memeras tapi hingga sampai pada pimpinan KPK atau atasan penyidik yang secara langsung bertanggung jawab atas kinerja penyidik di lapangan. Dalam pertanggung jawaban pidana dikenal doktrin vicarious liability, yang sudah diterapkan pada korporasi, tapi juga dapat diterapkan pada individu yaitu pertanggung jawaban pidana seseorang atas kesalahan dan perbuatan orang lain, selama itu masih dalam kewenagan tugas dan pekerjaan orang lain tersebut.

Dalam kasus ini harus diteliti apakah pekerjaan penyidik sudah dilakukan sesuai SOP nya, siapa yang mengawasi, apa saja yang dilakukan penyidik di lapangan, apakah sesuai dengan apa yang sudah dilaporkan, apa hasilnya dari pengawasannya tersebut, dsb. ( bukan setelah terjadi pemerasan baru dievaluasi bahwa ada yang tidak sesuai dengan SOP, semestinya pengawasan, pemantauan/monitoring dan evaluasi haruslah berfungsi sebagai pencegahan sebelum peristiwanya terjadi.pelanggaran atas SOP tsb).

Kalau ada kelalaian pada tahapan ini maka tanggungjawab vicarious liability sudah dapat diterapkan. Kita masih ingat dengan tindakan kepolisian yang menyeret pimpinannya hingga dipengadilan dalam kasus penerbiitan paspor dan pencabutan red notice DT, dimana penyidikan tidak terhenti hanya pada penerbitan paspor saja tapi hingga sampai pada pencabutan red notice yang dilakukan oleh Polri. Hal ini sebagai gambaran penerapan vicarious liability dimana penerbitan paspor dilakukan oleh imigrasi karena sudah ada pencabutan red notice ( conditio sine cuanon ).

Tidak heran jika ada pendapat pakar hukum pidana bahwa KPK sudah berada dititik nadir, KPK di ujung tanduk, mungkinkah KPK akan menjadi cerita dongeng sebagai pemberantas korupsi yang luar biasa. Hal ini patut membuat kita merenung, apakah ekspektasi kita atas pemberantasan korupsi oleh KPK masih suatu kenicayaan. Moga pimpinan KPK dan Dewas KPK dapat membuat suatu terobosan guna meminimalisir penyalah gunaan wewenang dalam tindakan penyidikan KPK.
• Penulis adalah, Dosen tetap Fakultas Hukum UBK.
Opini Ada Apa Di KPK