logo
Tentang KamiKontak Kami

Kenapa Kita Harus Alergi Terhadap Orde Baru ?

Kenapa Kita Harus Alergi Terhadap Orde Baru ?
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Untuk menghindari persepsi tendensius serta berbau apologi, maka sebelum menulis artikel ini saya mau sedikit flash back. Saya adalah salah satu korban dari pembredelan tiga media, Majalah Tempo, Tabloid Detik serta Majalah Editor tahun 1994 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Sehingga saya menjadi salah satu orang yang terlibat dalam demo di Merdeka Barat tepatnya di depan Kantor Departemen Penerangan.

Pra reformasi saya memimpin dua media dengan oplag yang mencapai 300 ribu eksemplar serta 125 ribu eksemplar. Kedua media tersebut secara intens mengkritik pemerintahan Orde Baru. Bahkan karena kedekatan saya dengan kelompok Petisi 50 terutama Ali Sadikin, secara rutin kantor dapat telepon dari orang-orang yang mengaku dari Bakorstanas yang melarang kami mengutip statement dari tokoh-tokoh Petisi 50, tentu dengan berbagai ancaman.

Kilas balik itu hanya sekedar ingin memberikan narasi bahwa saya tidak memiliki kedekatan apapun dengan kelompok-kelompok sisa-sisa Orde Baru. Karena merupakan salah satu korban dari rezim yang mengharamkan freedom of speech yang merupakan qonditio sine qua non (prasyarat utama) demokrasi sesuai Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (Duham). Satu-satunya ikatan batin saya dengan Orde Baru adalah lahir dan besar dalam periode itu.

Judul artikel ini hanya merefleksikan keprihatinan  saya tentang bahaya laten yang menjangkiti bangsa ini yakni penyakit apa yang pernah ditulis oleh Lester C Thurow, Zero Zum Game atau dalam bahasa budaya lokal dikenal dengan  Tumpas Kelor. Kita memiliki karakter yang negatif yakni Zero Zum Game atau Tumpas Kelor,  dimana setiap terjadi pergantian kepemimpinan atau pergantian rezim selalu diikuti dengan pergantian kebijakan secara radikal. Sehingga tidak ada sustainable (kesinambungan) kebijakan yang otomatis akan menguras energi dan tidak pernah mencapai goal yang maksimal.

Saat ini bila mendengar istilah Orde Baru, sebagian orang langsung alergi dan antipati, tentu dengan berbagai alasan masing-masing yang mungkin traumatik. Tetapi bila kita mau berpikir jernih ada beberapa produk Orba yang masih layak untuk dilanjutkan. Ada beberapa kebijakan produk Orba yang pantas untuk dikaji dan bukan barang yang haram untuk dipelajari kembali,  seperti misalnya sistem politik tiga partai dengan mekanisme yang harus dirumuskan bersama agar tidak menimbulkan pembatasan terhadap kebebasan berbicara dan berpendapat  sesuai dengan Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945. Karena seperti tesis Scoot Mainwaring, sistem multi partai ini kurang cocok dengan Indonesia.

Dengan sistem multi partai setiap pemerintahan menjadi kurang stabil. Koalisi yang dibentuk selalu berbasiskan trading horse (politik dagang sapi) dan bukan berdasarkan kesamaan platform partai.  Kondisi inilah yang mengakibatkan sulitnya menciptakan sinergi kebijakan antar departemen. Terbukanya ruang bagi setiap orang untuk membuat partai, akan menjadikan pola rekruitmen partai menjadi sangat longgar, apalagi dengan sistem proporsional murni yang menjadikan popularitas sebagai elemen yang menentukan elektabilitas.

Maka tak mengherankan bila seorang artis yang pernah terlibat perselingkuhan atau seorang artis karbitan yang  belum tentu memiliki wawasan kognitif tak lama kemudian duduk sebagai politisi di Senayan, meski secara konstitusi meraka memiliki hak untuk memilih dan dipilih sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945. Hal itu tidak akan terjadi bila pola rekruitmen partai bisa rigid. Pola rekruitmen sosok-sosok yang menduduki  jabatan politis juga harus melalui mekanisme yang akuntable.

Saat ini setiap orang mengklaim sebagai orang yang Pancasilais, tetapi perilakunya sama sekali tidak Pancasilais. Karena  sangat doyan menghujat kelompok lain, dan menganggap kelompok lawannya harus dienyahkan. Perilaku ini  tentu tidak sesuai dengan Sila 3 Pancasila, Persatuan Indonesia. Maka metode penataran P4 sangat layak untuk dikaji dan diterapkan kembali. Karena Pancasila merupakan intisari peradaban Bangsa Indonesia sekaligus menjadi standar moral bangsa, tetapi ironisnya generasi muda saat ini tidak bisa memahami sekaligus mengamalkan Pancasila.

Atau minimal kembalikan Pancasila dalam kurikulum di sekolah sebagai mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Karena kurikulum pendidikan selama Orba terbukti masih bisa membantu proses nation character building, ketimbang kurikulum pendidikan saat ini yang cenderung hanya menitik beratkan pada penguasaan Iptek. Pola ini memang bisa menciptakan kualitas individu yang lebih unggul tetapi tidak bisa membentuk generasi muda yang memiliki wawasan kebangsaan yang lebih baik.

Kondisi saat ini seakan menjadi anti tesis situasi Orde Baru, bila dulu semua rakyat bisa memahami Pancasila sekaligus mengamalkannya kini justru sebaliknya. Meski ada catatan,  ketika rezim Orba berkuasa tercipta stabilitas karena rakyat paham dengan Pancasila, tetapi kondisi itu dimanipulasi oleh pusat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus melakukan korupsi secara massif. Kini justru sebaliknya pemerintahan yang tidak bisa stabil karena rakyatnya menafsirkan Pancasila dengan caranya sendiri-sendiri.***
Opini Kenapa Kita Harus Alergi Terhadap Orde Baru ?