logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Preman Opini

Preman Opini


Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Minggu ini publik dikejutkan oleh adanya pertikaian antara dua kelompok yang mengakibatkan dua anggota kelompok itu tewas secara mengenaskan. Kini aparat kepolisian telah menangkap sejumlah orang yang terindikasi terlibat dalam pertikaian itu. Peristiwa itu membuktikan jika aksi premanisme masih marak terjadi di sekitar kita. Bentrokan itu biasanya terkait perebutan kue serta perebutan hegemoni antara kelompok, agar eksistensi mereka semakin diakui, sehingga bisa menaikan bandrol atau harga masing-masing kelompok.

Fenomena premanisme sebenarnya tidak melulu pada upaya segelintir orang yang menggunakan kekuatan fisik mereka untuk menakut-nakuti atau memeras kelompok atau orang lain. Kategori ini bisa definisikan preman jalanan, yang biasanya terlibat untuk perebutan lahan dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu aksi premanisme bisa bertransformasi dalam berbagai bentuk. Tanpa kita sadari kita banyak orang/pihak dengan profesi masing-masing telah melakukan aksi premanisme dengan berbagai modus operandi.

Seperti kita ketahui, premanisme (berasal dari kata bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran) adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Bila mengacu deskripsi premanisme seperti itu, maka premanisme bersifat kontekstual, artinya setiap orang yang menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk memperoleh keuntungan dan tidak menggunakan mekanisme yang benar bisa masuk kategori sebagai premanisme.

Partai politik yang menggunakan basis massa yang dimiliki yang digunakan untuk menekan lawan politiknya agar mendapat konsesi baik ekonomi maupun politik juga bisa dikategorikan sebagai premanisme. Organisasi-massa yang menggunakan kekuatan anggotanya untuk menekan kelompok tertentu untuk mendapat kompensasi materi jelas merupakan bentuk premanisme. Aparat yang menggunakan diskresinya untuk menekan orang atau kelompok tertentu dengan dalih tertentu untuk memperoleh keuntungan juga bisa masuk kategori premanisme. Bahkan bila ada seorang hakim yang menggunakan kekuasaanya untuk menekan terdakwa bisa dikurangi atau ditambahi hukumannya juga masuk kategori aksi premanisme.

Ironisnya, kelompok-kelompok ini biasanya juga melibatkan media untuk membentuk opini agar target yang dibidiknya itu terkesan telah berbuat kesalahan. Bahkan kini muncul sebuah fenomena yang menggunakan sentimen kebebasan untuk berbicara dan berpendapat untuk membentuk opini terhadap target yang hendak dibidiknya terkesan seolah-olah telah berbuat salah. Parahnya, banyak public opinian maker (orang yang suka membuat opini) itu tidak memiliki kapasitas yang jelas, misalnya apakah dia benar-benar seorang tokoh masyarakat, atau sekedar orang-orang yang ditokohkan oleh media. Bila dia seorang akademisi, seharusnya dia juga memiliki track reccord yang jelas.Sehingga setiap perkataannya pantas dan layak menjadi bahan pemberitaan.

Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, seiring dengan munculnya media social yang zonder proses editing, setiap orang bisa ngetop dalam sekejap. Setelah membuat aksi atau perkataan yang kontroversial. Dan kini ruang publik justru dijejali dengan tokoh-tokoh karbitan seperti itu. Tragisnya, banyak sikap dan manuver mereka yang dilakukan itu justru untuk menyerang orang atau kelompok lain. Figur-figur seperti itulah yang pantas menyandang status sebagai preman opini, karena tidak memiliki otoritas dan kapasitas yang jelas untuk membuat pernyataan.

Sosok-sosok itulah yang kerap membuat gaduh ruang publik serta memiliki agenda tersendiri. Maka fenomena tumbuh suburnya Medsos itu harus disikapi secara arif sekaligus tidak perlu reaktif, agar energi bangsa ini tidak terjebak oleh pertikaian-pertikaian yang konyol serta tidak mendidik. Publik juga harus jeli dalam menyikapi fenomena citizen journalism yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa melalui proses penyajian yang berdasarkan standar jurnalistik yang baku. Menelan secara mentah-mentah informasi yang disajikan berdasarkan citizen jurnalisme justru akan mengakibatkan terjadinya disinformasi yang bisa disikapi secara salah oleh para pembacanya. Jadi kita harus waspada dengan munculnya banyak preman-preman opini yang justru menyesatkan, dan bisa memancing terjadinya konflik secara horizontal.***
Opini Preman Opini
Iklan Utama 5