logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Bersama Melawan Proxy

Bersama Melawan Proxy
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Proses amandemen terhadap UUD 1945 yang telah merubah banyak tatanan kenegaraan, baik dari sistem Pemilu, sistem pemerintahan hingga sistem kepartaian. Liberalisme politik melalui sistem Pilpres langsung itu ditunjang oleh sistem multipartai, yang pernah dikritik oleh Scott Mainwaring kurang cocok dengan Indonesia. Dengan UU No 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan  UU No 2 tahun 2008 tentang Parpol, siapapun bisa mendirikan partai asal memenuhi persyaratan administrasi dan ideologi.

Perubahan sistem inilah yang memberi ruang tumbuh suburnya partai. Sekaligus memberikan ruang terhadap Ormas-ormas yang memiliki ideologi yang kurang sejalan dengan ideologi Pancasila, meski saat deklarasi mereka menyatakan jika Pancasila adalah ideologi yang final. Sementara sistem Pemilu yang menggunakan ketentuan presidential threshold sebesar 20% hanya akan membuat masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Maka mulailah terjadi sikap saling menghujat, black campaign, hoaxs dan seterusnya  semenjak kedua pasangan ditetapkan sebagai pasangan Capres dan Cawapres.

Sistem multai partai inilah yang memberi ruang terhadap partai-partai untuk mengusung isu sektarian sekaligus sebagai upaya untuk membidik segmen konstituen yang khusus. Sehingga tak mengherankan bila jagad politik nasional akan selalu dijejali isu-isu sektarian yang akan direspon menggunakan isu sektarian juga oleh lawan politiknya yang pada akhirnya menjurus SARA dan disintegrasi bangsa.

Konstelasi politik seperti itulah yang menjadi katalisator tumbuh suburnya virus proxy war. Perang tanpa bentuk itulah yang kini menghantui Bangsa Indonesia. Proxy war merupakan  perubahan evolutif atau transformasi dari sistem politik devide et impera yang muncul pada abad ke 15 yang sering digunakan oleh bangsa-bangsa kolonialis. Namun perubahan budaya politik di Semenanjung Arab membuktikan jika proxy war kini jauh lebih efektif untuk menggoyang suatu rezim atau pemerintahan. Bahkan bisa menghancurkan pondasi kebangsaan suatu negara.

Menurut Joseph Nye dalam bukunya Soft Power Foreign Policy (1990),  proxy war bisa dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu dengan hard power atau melalui kekuatan militer dan politik. Serta melalui soft power dengan memanfaatkan tekanan di bidang ekonomi, lembaga donor, atau melalui teknologi informasi.

Fenomena seperti tesisnya Joseph Nye itulah yang saat ini terjadi di Indonesia, banyak agenda asing yang terselip dibalik proses demokratisasi. Apalagi ditunjang  dengan kemajuan teknologi informasi. Penyebaran disinformasi menggunakan Medsos terbukti efektif untuk menggoyang semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Apalagi disaat menghadapi event-event politik. Sering terjadi sikap saling persekusi atas dasar informasi yang salah (hoaxs). Isu-isu tentang perubahan ideologi menjadi dagangan yang paling laris untuk memancing emosi massa. Apabila fenomena ini tidak segera dihentikan, maka disintegrasi bangsa hanya tinggal menunggu waktu.

Lalu cara apakah yang paling efektif untuk melawan proxy war secara bersama-sama ?. Untuk menangkal serangan proksi itu menurut R.L. Armitage dan Nye bisa dilakukan cara membangun kekuatan cerdas (smart power) yang mampu menghalau dua pendekatan proksi tersebut. Smart power sendiri merupakan gabungan dari hard power dan soft power. Cara yang cerdas adalah  dengan tidak terpancing dan terlibat sikap saling tuduh dan hujat  terutama melalui media sosial.

Para pihak harus menahan diri untuk tidak menuduh kelompok lain sebagai kaki tangan komunis ataupun kaki tangan kadal gurun. Karena sejelek apapun mereka adalah anak bangsa yang perlu dirangkul sebagai doktrin nasionalisme yang sesungguhnya, seperti halnya tesis Ernest Renan dan Otto Bauer,  jika suatu bangsa berdiri atas kehendak bersatu (le desire d’etre ensemble). Doktrin nasionalisme itulah yang dijadikan mantra oleh Soekarno untuk menghimpun ribuan suku dan bangsa ini menjadi satu pangkuan bumi pertiwi yakni Bangsa Indonesia.

Sangatlah memalukan jika ada orang yang mengklaim Soekarnois dan mencintai NKRI dengan harga mati, tetapi masih juga rajin menghujat kelompok lain. Ingat, Soekarno telah mengambil  resiko tidak popular dengan melakukan ujicoba sinkretisme ideologi dengan menyatukan nasionalisme, agama, dan komunis (Nasakom) menjadi satu kesatuan, tetapi kini para penerusnya justru berusaha saling meniadakan.

Pancasila sebagai ideologi itu sudah final. Dan sering saya tulis bahwa Pancasila itu adalah intisari peradaban bangsa ini. Karena Pancasila lahir dari dealektika budaya yang panjang, dan merupakan konsesus bersama bangsa ini melalui wakil-wakil mereka yang ada di BPUPKI. Meski Soekarno punya peran yang sangat dominan, tetapi kita tidak bisa menafikan peran dari tokoh-tokoh lain. Maka tantangan terbesar  bangsa ini bukan merumuskan falsafah baru, tetapi bagaimana cara memahami dan mengamalkan falsafah itu sendiri. Salah satunya adalah sila Persatuan Indonesia, dengan cara bersama-sama menangkal terjadinya proxy war.***
Opini Bersama Melawan Proxy
Iklan Utama 5