logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Antara Nasionalisme Dan Keadilan

Antara Nasionalisme Dan Keadilan
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Seandainya kita pernah menonton Film Slumdog Millionare  yang menceritakan tentang Jamal Malik yang memenangkan quiz Who Wants To Be Millionare versi India, maka kita akan mengamini ungkapan seorang orator sekaligus filusuf Yunani, Cicero yang pernah membuat ungkapan yang sangat terkenal, “Experience is the best teacher,” (pengalaman adalah guru yang terbaik). Karena dalam cerita itu, Jamal termotivasi ikut quiz dan bisa menjawab pertanyaan host/anchor sekaligus memenangkan hadiah itu berdasarkan pengalaman hidup yang pernah dijalaninya.

Senada dengan Cicero, tiga filusuf asal Inggris yakni David Hume, George Barkeley serta John Locke membentuk aliran filsafat empirisme  yang menyatakan jika pengalaman manusia adalah sumber ilmu pengetahuan. Empirisme ini berasal dari bahasa Yunani empeirin yang berarti coba-coba atau pengalaman. Teori itu juga  yang dipergunakan oleh Soekarno untuk menghimpun ribuan suku, pulau dan bahasa menjadi satu bangsa dan satu negara  menjadi Negara Indonesia. Soekarno trauma dengan pengalaman masa lalu bangsa ini yang terjerumus dalam berbagai pertikaian antar  kerajaan sebagai akibat dari politik devide et impera (politik adu domba) yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Bersama dengan stake houlder yang lain Soekarno bahu membahu untuk  membangun kesadaran bangsa ini agar tidak mau dipecah belah oleh kaum imperilais kolonialis. Maka setelah melalui tiga fase perjuangan, yakni national guest (kesadaran nasional), national will (kemauan nasional) serta national daad (perjuangan nasional), Soekarno bersama dengan beberapa tokoh lain berhasil menyadarkan sekaligus memerdekakan bangsa ini dari cengkeraman penjajah.

Kesadaran itulah yang tersublimasi menjadi semangat nasionalisme yang diadopsi oleh Soekarno dari beberapa pemikir dunia seperti, Kamarakand Gandhi, Karl Renan maupun Otto Bauer yang dibuktikan oleh kehendak bersatu (le desir de’etre ensemble), yang dimulai oleh sejumlah anak muda dari seluruh pelosok negeri melalui forum Soempah Pemoeda, 1928. Karena seperti tesisnya Adreas Andrew Gellner, nasionalisme adalah doktin  dan gagasan imaginer yang bisa merasuki siapa saja hingga menjadi suatu kekuatan untuk memperthanakan suatu komunitas (bangsa) dari kemungkinan gangguan dari luar.

Ironisnya, nasionalisme warisan Seokarno itu saat ini telah luntur meski Presiden RI yang pertama itu pernah mewanti-wanti, jangan sampai kita melupakan sejarah (Jasmerah). Reformasi telah membuka gerbang liberalisme politik, baik melalui sistem multi partai maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. Sistem ini telah meninggalkan konstitusi lama, yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh lembaga perwakilan (MPR).

Implikasinya kini sangat menyedihkan, masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Dan faktanya hingga saat ini para pihak terbukti masih baper dan belum move on sepenuhnya. Sikap saling sindir dan saling hujat terlihat masih marak di Medsos maupun berbagai forum  yang menafikan fatsoen (tata krama) demokrasi. Padahal para founding father’s kita telah mengamanahkan agar mengedepankan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Kini para politisi lebih suka mengambil sikap pragmatis dengan menggunakan mekanisme voting.

Para pihak terlihat tidak mampu berpikir jernih dan bersikap obyektif dalam menyikapi setiap fenomena yang muncul. Seharusnya setiap pihak mampu bersikap adil dan berpikir jernih dalam menyikapi setiap dinamika yang terjadi di masyarakat. Karena dalam sistem demokrasi  dan terbuka seperti saat ini mustahil ada satu kekuatan yang sepenuhnya bersikap dzolim ataupun sebaliknya tidak ada satupun kelompok yang benar-benar bersih. Dalam demokrasi terjadi sikap saling koreksi.

Maka disitulah esensi adanya sistem demokrasi selalu tercipta kondisi chek and balance, baik  yang dilakukan oleh parlemen maupun oleh masyarakat umum seperti melalui pers sebagai pilar demokrasi ke empat seperti tesisnya Thomas Jefferson maupun  yang bisa  dilakukan oleh Ormas-ormas maupun NGO. Sehingga terbuka ruang setiap elemen masyarakat terlibat urun rembug dalam setiap proses pembuatan kebijakan.

Perintah untuk selalu bersikap adil  dalam Islam sendiri telah termakthub dalam QS, Almaidah : (8) “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Maka janganlah karena galau setelah kalah dalam Pilpres lalu, atau benci dengan kelompok Cebong, para pihak tidak mau bersikap obyektif dalam menilai pemerintah yang berkuasa. Setiap kritik harus diberikan secara konstruktif serta solutif sebagai bagian dari proses pencarian kebijakan yang efektif seperti teori  Karl Raymond Proppers atau yang lebih dikenal dengan teori Propperian.

Sebaliknya juga,  kelompok yang pro pemerintah jangan  tipis telinga. Karena sistem demokrasi tidak akan pernah melahirkan pemimpin yang berhati malaikat atau manusia setengah dewa, pemimpin  tetaplah manusia biasa yang tetap bisa berbuat salah. Dan tak perlu langsung mencak-mencak dan uring-uringan setiap menghadapi kritik. Janganlah karena kebencian terhadap kampret, mengurangi semangat kita untuk merangkul mereka sebagai sesama anak bangsa, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Soekarno dengan berusaha menyatukan (sinkretisme ideologi) antara kelompok kanan maupun kelompok kiri. Sehingga kehendak bersatu (le desir de’etre ensemble) harus tetap dirawat demi kejayaan NKRI.***
Opini Antara Nasionalisme Dan Keadilan
Iklan Utama 5